A.
Latar
Belakang
Teori
Interaksionisme Simbolik dikembangkan dari pemikiran George H. Mead mengenai
pentingnya komunikasi bagi kehidupan dan interaksi sosial melalui makna yang
diciptakan. Mead mengagumi kemampuan manusia dalam menggunakan simbol sesuai
makna yang muncul dari situasi tertentu. George H. Mead berpendapat bahwa
mnausia adalah makhluk yang paling rasional dan memiliki kesadaran akan
dirinya. Sebelumnya, filosof sekaligus sosiolog Max Weber telah memasukkannya
dalam lingkup sosiologi interpretatif.
Sebagai pencetus teori
interaksionisme simbolik, George H. Mead, pada awalnya Mead memang tidak pernah
menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku. Para mahasiswanya
lah yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut
dalam sebuah buku yang berjudul Mind,
Self and Society. Herbert Blumer, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai
teori interaksionisme simbolik. Sebuah terminologi yang ingin menggambarkan apa
yang dinyatakan oleh Mead bahwa “the most human and humanizing activity
that people can engage in—talking to each other.”
B.
Uraian
teori
Simbol merupakan esensi dari teori
interaksionisme simbolik. Teori ini menekankan pada hubungan antara
simbol dan interaksi. Teori Interaksionisme Simbolik merupakan sebuah
kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan manusia
lainnya menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, dan bagaimana
nantinya simbol tersebut membentuk perilaku manusia. Teori ini juga membentuk
sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori
yang berfokus pada kekuatan sosial.
Ide-ide dari teori ini sangatlah berpengaruh
terhadap kajian Ilmu Komunikasi.
Ralph
LaRosa dan Donald C. Reitzes (dalam West dan Turner, 2009: 96) menyebutkan tiga
tema besar yang mendasari teori interaksionisme simbolik, yakni:
1.
Pentingnya makna bagi
perilaku manusia
Makna yang diberikan merupakan hasil interaksi
antar manusia. Melalui komunikasi akan terjalin sutu interaksi. Interaksi
bertujuan untuk menciptakan pemaknaan yang sama. Individu akan bertindak sesuai
dengan makna yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Seperti yang dikemukaan
oleh Blumer (1969) mengenai tiga asumsi interaksi simbolik bahwa: 1) Manusia
bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain
pada mereka; 2) Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia; 3) Makna
dimodifikasikan dalam proses interpretif.
Pemaknaan yang berbeda akan menghasilkan sikap yang berbeda
pula. Contohnya pemaknaan akan bagaimana sebuah keluarga akan berbeda pada
masyarakat yang tinggal di pedesaan dengan masyarakat yang tinggal di
perkotaan. Setting pedesaan yang komunal akan memunculkan pemaknaan bahwa yang
terpenting dalam sebuah keluarga adalah adanya kebersamaan. Sedangkan pada
masyarakat perkotaan memandang sebuah keluarga harus mengedepankan efisiensi,
efektif, praktis, dan bercita rasa.
2.
Pentingnya konsep
mengenai diri
Tema ini berfokus pada pentingnya konsep diri (self). Konsep ini mengacu pada
seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya
sendiri. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan. Pertama, individu-individu
mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Kedua, konsep
diri memberikan motif yang penting untuk perilaku.
3.
Hubungan antar individu
dan masyarakat.
Teori pada tema yang terakhr ini berkaitan dengan hubungan antara kebebasan
individu denganbatasan-batasan sosial. Asumsi-asumsi yang
berkaitan dengan tema ini adalah: 1) orang dan kelompok dipengaruhi oleh
proses budaya dan sosial; dan 2) struktur sosial dihasilkan melalui
interaksi sosial.
Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme
simbolik yang berhubungan denganmeaning, language, dan thought. Premis ini kemudian
mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self)
dan sosialisasinya dalam komunitas yang lebih besar.
1. Meaning (makna): Konstruksi Realitas Sosial.
Blumer mengawali
teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah objek atau
orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang objek atau orang
tersebut.
2. Language (Bahasa): Sumber Makna.
Seseorang
memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Sehingga dapat dikatakan
bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada objek,
melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari
simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme
simbolik.
Berdasarkan
makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna
untuk membedakan suatu objek, sifat atau tindakan dengan objek, sifat atau
tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah manusia
memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol. Percakapan adalah sebuah
media pencitaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik
adalah dasar terbentuknya masyarakat. Upaya mengetahui sangat tergantung pada
proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa interaksionisme
simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.
3. Thought (Pemikiran): Proses pengambilan peran
orang lain.
Premis ketiga
Blumer adalah interpretasi simbol seseorang dimodifikasi oleh proses
pemikirannya. Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Mead
menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses ini
menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika
berhadapan dengan sebuah situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka seseorang
memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa
adalah software untuk bisa mengaktifkan mind.
Kontribusi
terbesar Mead untuk memahami proses berpikir adalah pendapatnya yang menyatakan
bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain (taking
the role of the other). Contohnya, pada masa kecilnya, anak-anak sering
bermain peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner dan secara
terus menerus sering menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa
seseorang akan meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan
bertindak sebagaimana orang itu bertindak. Mengambil orang lain sebagai
model untuk ia tiru dalam setiap tindak tanduk keseharian.
C. Konsep Penting Teori Interaksionisme Simbolik
Ada tiga konsep penting yang dikemukakan
oleh George H. Mead dalam teori interaksionisme simbolik, yaitu mind, self, dan society.
1.
Mind
Mead
mendefinisikan pikiran sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang
mempunyai makna sosial yang sama. Mead juga percaya bahwa manusia harus
mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bayi tidak akan
berinteraksi dengan orang lain sampai ia mempelajari bahasa atau simbol-simbol
baik verbal maupun nonverbal yang diatur dalam pola-pola untuk
mengekspresikan pemikiran dan perasaan dan dimiliki bersama. Dengan menggunakan
bahasa dan berinteraksi dengan orang lain, kita mengembangkan pikiran. Jadi
pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat.
Terkait
dengan mind maka ada konsep thougt, yaitu kemampuan sesorang untuk
berbicara dengan dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin dilakukan jika
sebelumnya tidak ada rangsangan dan interaksi sosial. Contoh dari adanya
pemikiran adalah role taking yaitu kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya
sendiri dalam diri khayalan dari orang lain. Kapan pun kita selalu berusaha
untuk membayangkan bagaimana orang lain mungkin melihat kita, kita sebagai
mereka. Kita selalu mengambil peran orang lain dalam diri kita. Pengambilan
peran adalah sebuah tindakan simbolis yang dapat membantu menjelaskan perasaan
kita mengenai diri dan juga memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas
untuk berempati dengan orang lain.
2.
Self
Konsep ini didefinisikan
sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita
sendiri dari perspektif orang lain. Diri bukan berasal dari intropeksi
atau dari pemikiran sendiri yang sederhana. Namun diri
berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran khusus, yaitu dengan
membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Mead menyebut istilah ini
sebagai cermin diri (loking-glass self), atau kemampuan kita untuk
melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain.
Mead
mengamati bahwa individu mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek
bagi dirinya sendiri. Sebagai subjek, ia bertindak dan sebagai objek kita
mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek atau diri yang
bertindak sebagai I.
sementara objek atau diri yang mengamati adalah Me. I bersifat spontan, impulsif dan
kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara
sosial. I mungkin berkeinginan untuk pergi
keluar jalan-jalan malam, sementara Me mungkin lebih berhati-hati dan
menyadari adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Diri adalah sebuah
proses yang mengintegrasikan antara I dan Me. Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi
simbolik secara terus menerus melalui dari keluarga, teman bermain, sekolah,
dan seterusnya. Oleh karena itulah seseorang membutuhkan komunitas untuk
mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized others, yaitu berbagai hal (orang,
objek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan
berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu.
Tanpa pembicaraan tidak aka nada
konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus
menjadi anggota komunitas atau kelompok masyarakat.
3.
Society
Menurut Mead, interaksi ada di dalam sebuah struktur sosial yang
dinamis, yakni budaya, masyarakat dan sebagainya. Individu-individu lahir dalam
konteks sosial yang sudah ada. Mead mendefinisikan masyarakat sebagai jejaring
hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam
masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi,
masyarakat menggambarkan hubungan antara beberapa perangkat perilaku yang terus
disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi
diciptakan dan dibentuk oleh individu. Bahkan untuk menemukan suatu
konsep diri seseorang harus mengambil peran dalam suatu komunita atau kelompok
masyarakat
D. Kesimpulan
Teori interaksionisme simbolik mengacu
kepada adanya interaksi antara individu dengan dirinya sendiri, individu dengan
individu yang lain, dan individu dengan masyarakat. melalui simbol-simbol. Interaksi
dapat terjadi melalui komunikasi, sehingga menghasilkan makna yang mengarahkan
seorang individu dalam berpikir dan bersikap, serta membentuk sutau kepribadian
tertentu. Dengan konsep mind, self, dan society, teori ini menggambarkan pentingnya interaksi dalam
membentuk pribadi seorang individu. Setiap konsep menggambarkan bagaiman
seorang individu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan diri mereka
sendiri, dengan individu lain, dan juga dengan masyarakat, dengan
merepresentasikan dirinya sebagaimana orang lain melihatnya. Kemuampuan ini
kemudian tidak lepas dari adanya proses interaksi sosial.
Sumber :
Terima kasih atas artikel yang informatif ini! Teori Interaksionisme Simbolik memang menjadi landasan penting dalam memahami dinamika sosial. Saya senang menemukan sumber ini.https://telkomuniversity.ac.id/i-roasterbik-integrasikan-mesin-pembuat-kopi-dengan-smartphone/
BalasHapus