Selasa, 18 November 2014

Teori Interaksionisme Simbolik



A.    Latar Belakang
Teori Interaksionisme Simbolik dikembangkan dari pemikiran George H. Mead mengenai pentingnya komunikasi bagi kehidupan dan interaksi sosial melalui makna yang diciptakan. Mead mengagumi kemampuan manusia dalam menggunakan simbol sesuai makna yang muncul dari situasi tertentu. George H. Mead berpendapat bahwa mnausia adalah makhluk yang paling rasional dan memiliki kesadaran akan dirinya. Sebelumnya, filosof sekaligus sosiolog Max Weber telah memasukkannya dalam lingkup sosiologi interpretatif.
Sebagai pencetus teori interaksionisme simbolik, George H. Mead, pada awalnya Mead memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku. Para mahasiswanya lah yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku yang berjudul Mind, Self and Society. Herbert Blumer, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik. Sebuah terminologi yang ingin menggambarkan apa yang dinyatakan oleh Mead bahwa “the most human and humanizing activity that people can engage in—talking to each other.”           

B.     Uraian teori
Simbol merupakan esensi dari teori interaksionisme simbolik. Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi. Teori Interaksionisme Simbolik merupakan sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan manusia lainnya menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, dan bagaimana nantinya simbol tersebut membentuk perilaku manusia. Teori ini juga membentuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial.
Ide-ide dari teori ini sangatlah berpengaruh terhadap kajian Ilmu Komunikasi.
Ralph LaRosa dan Donald C. Reitzes (dalam West dan Turner, 2009: 96) menyebutkan tiga tema besar yang mendasari teori interaksionisme simbolik, yakni:
1.      Pentingnya makna bagi perilaku manusia
Makna yang diberikan merupakan hasil interaksi antar manusia. Melalui komunikasi akan terjalin sutu interaksi. Interaksi bertujuan untuk menciptakan pemaknaan yang sama. Individu akan bertindak sesuai dengan makna yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Seperti yang dikemukaan oleh Blumer (1969) mengenai tiga asumsi interaksi simbolik bahwa: 1) Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka; 2) Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia; 3) Makna dimodifikasikan dalam proses interpretif.
Pemaknaan yang berbeda akan menghasilkan sikap yang berbeda pula. Contohnya pemaknaan akan bagaimana sebuah keluarga akan berbeda pada masyarakat yang tinggal di pedesaan dengan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Setting pedesaan yang komunal akan memunculkan pemaknaan bahwa yang terpenting dalam sebuah keluarga adalah adanya kebersamaan. Sedangkan pada masyarakat perkotaan memandang sebuah keluarga harus mengedepankan efisiensi, efektif, praktis, dan bercita rasa.
2.      Pentingnya konsep mengenai diri
Tema ini berfokus pada pentingnya konsep diri (self). Konsep ini mengacu pada seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan. Pertama, individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Kedua, konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku.
3.      Hubungan antar individu dan masyarakat.
Teori pada tema yang terakhr ini berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu denganbatasan-batasan sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: 1) orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial; dan 2) struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan denganmeaning, language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas yang lebih besar.
1.      Meaning (makna): Konstruksi Realitas Sosial.
Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah objek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang objek atau orang tersebut.
2.      Language (Bahasa): Sumber Makna.
Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itu, teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik.
Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan suatu objek, sifat atau tindakan dengan objek, sifat atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol. Percakapan adalah sebuah media pencitaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah dasar terbentuknya masyarakat. Upaya mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.
3.      Thought (Pemikiran): Proses pengambilan peran orang lain.
Premis ketiga Blumer adalah interpretasi simbol seseorang dimodifikasi oleh proses pemikirannya. Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses ini menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah software untuk bisa mengaktifkan mind.
Kontribusi terbesar Mead untuk memahami proses berpikir adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain (taking the role of the other). Contohnya, pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner dan secara terus menerus sering menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu bertindak. Mengambil orang lain sebagai model untuk ia tiru dalam setiap tindak tanduk keseharian.
C.     Konsep Penting Teori Interaksionisme Simbolik
Ada tiga konsep penting yang dikemukakan oleh George H. Mead dalam teori interaksionisme simbolik, yaitu mind, self, dan society.
1.      Mind
Mead mendefinisikan pikiran sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Mead juga percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bayi tidak akan berinteraksi dengan orang lain sampai ia mempelajari bahasa atau simbol-simbol baik verbal maupun nonverbal yang diatur dalam pola-pola untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan dan dimiliki bersama. Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain, kita mengembangkan pikiran. Jadi pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat.
Terkait dengan mind maka ada konsep thougt, yaitu kemampuan sesorang untuk berbicara dengan dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin dilakukan jika sebelumnya tidak ada rangsangan dan interaksi sosial. Contoh dari adanya pemikiran adalah role taking yaitu kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan dari orang lain. Kapan pun kita selalu berusaha untuk membayangkan bagaimana orang lain mungkin melihat kita, kita sebagai mereka. Kita selalu mengambil peran orang lain dalam diri kita. Pengambilan peran adalah sebuah tindakan simbolis yang dapat membantu menjelaskan perasaan kita mengenai diri dan juga memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan orang lain.

2.      Self
Konsep ini didefinisikan sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Diri bukan berasal dari intropeksi atau dari pemikiran sendiri yang sederhana.  Namun diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran khusus, yaitu dengan membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Mead menyebut istilah ini sebagai cermin diri (loking-glass self), atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain.
Mead mengamati bahwa individu mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Sebagai subjek, ia bertindak dan sebagai objek kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek atau diri yang bertindak sebagai I. sementara objek atau diri yang mengamati adalah Me. I bersifat spontan, impulsif dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara sosial. I mungkin berkeinginan untuk pergi keluar jalan-jalan malam, sementara Me mungkin lebih berhati-hati dan menyadari adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Diri adalah sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me. Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik secara terus menerus melalui dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itulah seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized others, yaitu berbagai hal (orang, objek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu.
Tanpa pembicaraan tidak aka nada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas atau kelompok masyarakat.

3.      Society
Menurut Mead, interaksi ada di dalam sebuah struktur sosial yang dinamis, yakni budaya, masyarakat dan sebagainya. Individu-individu lahir dalam konteks sosial yang sudah ada. Mead mendefinisikan masyarakat sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat menggambarkan hubungan antara beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi diciptakan dan dibentuk oleh individu. Bahkan untuk menemukan suatu konsep diri seseorang harus mengambil peran dalam suatu komunita atau kelompok masyarakat

D.    Kesimpulan
Teori interaksionisme simbolik mengacu kepada adanya interaksi antara individu dengan dirinya sendiri, individu dengan individu yang lain, dan individu dengan masyarakat. melalui simbol-simbol. Interaksi dapat terjadi melalui komunikasi, sehingga menghasilkan makna yang mengarahkan seorang individu dalam berpikir dan bersikap, serta membentuk sutau kepribadian tertentu. Dengan konsep mind, self, dan society, teori ini menggambarkan pentingnya interaksi dalam membentuk pribadi seorang individu. Setiap konsep menggambarkan bagaiman seorang individu memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan diri mereka sendiri, dengan individu lain, dan juga dengan masyarakat, dengan merepresentasikan dirinya sebagaimana orang lain melihatnya. Kemuampuan ini kemudian tidak lepas dari adanya proses interaksi sosial.


Sumber :

1 komentar:

  1. Terima kasih atas artikel yang informatif ini! Teori Interaksionisme Simbolik memang menjadi landasan penting dalam memahami dinamika sosial. Saya senang menemukan sumber ini.https://telkomuniversity.ac.id/i-roasterbik-integrasikan-mesin-pembuat-kopi-dengan-smartphone/

    BalasHapus