Selasa, 18 November 2014

Pro dan Kontra Desentralisasi Terhadap Pemerataan Ekonomi dan Pembangunan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pemerataan menjadi masalah yang sangat krusial saat ini. Banyak wacana bertopik pemerataan di sejumlah media masa. Pemerintah begitu mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun terkesan tidak memandang serius mengenai masalah pemerataan. Memang Indonesia tengah mengalami kenaikan dalam laju pertumbuhan ekonomi. Tetapi laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut justru diikuti dengan kesenjangan pendapatan penduduk yang cukup signifikan. Ketidakmerataan wilayah perkotaan dan pedesaan disebut-sebut  menjadi momok terhadap isu-isu gerakan kemerdekaan di berbagai wilayah di indonesia.
Sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan telah menunjukkan kesuksesan dengan adanya peningkatan efisiensi dan efektifitas pelayanan sektor publik, serta berhasil dalam mengakomodasi dari tekanan kekuatan-kekuatan politik. Namun di sisi lain ketidakberhasilan desentralisasi juga mengancam stabilitas ekonomi dan politik serta mengganggu penyediaan pelayanan publik (Bird and Vaillancourt, 1998; Ter-Minassian, 1997; World Bank, 2000; Shah, 2003). Salah satu akibat yang ditimbulkan adalah adanya vertical imbalance dan horizontal imbalance.
Pertumbuhan di kota-kota besar melaju dengan pesat, dengan modernitas yang tinggi mengikuti sejalan dengan arus globalisasi. Namun tak dapat kita menutup mata terhadap wilayah-wilayah tertinggal, dengan kehidupan yang masih bergantung pada alam. Seperti wacana yang dikutip dari Antara News Online berikut.
“Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPD RI Irman Gusman mengatakan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia hanya melahirkan segelintir orang super kaya dan membuat kesenjangan sosial ekonomi di negara ini semakin besar.
"Pertanyaannya apakah potensi pertumbuhan ekonomi yang besar bisa melahirkan pertumbuhan yang merata, adil, dan berkelanjutan? Faktanya justru kesenjangan sosial ekonomi makin menganga," kata Irman dalam acara Seminar Nasional "Mewujudkan Pertumbuhan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan" di Jakarta, Senin siang.
Irman kemudian memaparkan data jumlah orang kaya Indonesia dalam Global Wealth Report yang dilansir Credit Sussie pada 11 Oktober. Dalam laporan tersebut tercatat Indonesia memiliki 104 ribu orang kaya, dan jumlah tersebut diperkirakan naik 99 persen hingga menjadi 207 ribu orang kaya.
Tak hanya itu, Indonesia juga diperkirakan menjadi satu dari lima negara dengan laju pertumbuhan orang kaya tertinggi di dunia bersama Brazil, Rusia, Malaysia, dan Polandia.
Global Wealth juga melaporkan selama satu tahun terakhir, jumlah orang kaya dengan nilai harta di atas 30 juta dolar AS di Indonesia telah meningkat 4,7 persen menjadi 785 orang.
Dari jumlah tersebut, miliarder dengan rata-rata kekayaan minimal 2 miliar dolar AS tercatat berjumlah 25 orang, sementara kalangan super kaya Indonesia dengan kekayaan minimal 30 hingga 49 juta dolar AS berjumlah 380 orang.
"Total 405 orang super kaya di Indonesia itu punya total kekayaan mencapai 120 miliar dolar AS (Rp1,150 triliun) atau sekitar 80 persen dari APBN 2012," ungkap Irman.
Padahal, menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin Indonesia masih cukup tinggi walaupun telah berkurang dari 2011. Pada Maret 2012 penduduk miskin Indonesia berjumlah 29,13 juta orang atau sebanyak 11,96 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia.
"Paradoks ini menunjukkan ada kesalahan paradigmatik yang cukup fatal dalam mendesain pertumbuhan. Orientasi kita bagaimana mengejar pertumbuhan angka makro, tanpa melihat apakan pertumbuhan makro sudah sejalan dengan konstitusi," kata Irman.
Lebih lanjut, menurut Irman, di Indonesia masih terjadi sentralisme ekonomi di mana konsentrasi investasi dan peredaran uang lebih banyak ada di Pulau Jawa.
"Kalau peredaran uang dipakai sebagai indikator, 65 persen peredaran uang ada di Jabodetabek, 25 persen di luar Jabodetabek tapi maish di Pulau Jawa, sementara 10 persen di provinsi lainnya. Kalau industri, jelas 80 persen ada di Pulau Jawa terutama Jabodetabek," tambah Irman. 
"Di satu sisi, demokratisasi memberi kebebasan politik dan pers, namun di sisi lain belum sejalan dengan domkratisasi ekonomi. Hal ini juga membuktikan orientasi pertumbuhan makro ternyata belum menjamin terwujudnya keadilan dan pemerataan," pungkas Irman.”(www.antaranews.com, 15 Oktober 2012)

Berdasarkan wacana di atas dapat kita lihat sekalipun pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi distribusi pendapatan tidak merata. Meskipun desentralisasi fiskal telah diterapkan sejak 1974 lalu hingga sekarang, konsentrasi ekonomi saat ini masih tersentral di Pulau Jawa. Desentralisasi dianggap sebagai salah satu solusi efektif dalam upaya mengurangi ketimpangan ekonomi dan pembangunan di Indonesia. Tetapi mengapa dalam penerapannya hasil yang didapatkan justru tidak sedemikian efektif? Masih dapat kita jumpai daerah-daerah yang relatif tertinggal dibandingkan dengan daerah lain.
Makalah ini akan mencoba memaparkan mengenai penyebab ketidakefektifan desentralisasi dalam penyelesaian masalah pemerataan di Indonesia.

B.     RUMUSAN MASALAH
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai wujud penerapan sistem desntralisasi di Indonesia bertujuan untuk mengurangi ketidakmerataan perekonomian dan pembangunan antar daerah (horizontal imbalance) serta antara pemerintah pusat dengan daerah (vertical imbalance). Yaitu dengan memberdayakan potensi daerah dan meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola perekonomiannya, sehingga akan terjadi pemerataan kemampuan ekonomi dan pembangunan antar daerah.
Pada pelaksanaannya, sistem otonomi daerah ini tidak benar-benar mampu menanggulangi masalah pemerataan. Terbukti dengan adanya pemberontakan menuntut kemerdekaan di beberapa wilayah di Indonesia karena merasa tidak terperhatikan. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan yang cukup besar akan kesejahteraan antara wilayah maju dan wilayah terbelakang. Bukti lain yaitu berdasarkan data BPS tahun 2012 disebutkan bahwa jumlah penduduk kaya dengan kekayaan minimal 30 juta dolar Amerika yaitu 785 jiwa, sedangkan penduduk miskin berjumlah 29,13 juta jiwa. Hal ini berarti bahwa di satu sisi ada segolongan orang yang sangat kaya, sedangkan di sisi lain masih banyak masyarakat yang ekonominya rendah. Maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidaklah menjamin pemerataan distribusi pendapatan penduduk Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan yang muncul yaitu,
1.      Bagaimanakah sistem desentralisasi yang diterapkan di Indonesia?
2.      Mengapa desentralisasi fiskal tidak mampu menjamin pemerataan perekonomian dan pembangunan daerah?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    KAJIAN TEORI
Menurut Litvack dan Seddon, 1999 dan Shah 1998, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia telah menggunakan tiga tipe teori desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi politik sering disebut sebagai otonomi daerah, yaitu suatu mekanisme di mana pemerintah pusat memberikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah.
Desentralisasi administratif adalah penyerahan wewenang administratif dari pusat kepada pemerintah daerah. Ada tiga bentuk desentralisasi administrative, yaitu dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Dekonsentrasi yaitu pemberian tanggungjawab pemerintah pusat untuk beberapa pelayanan kepada pemerintah daerahnya. Delegasi adalah pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi regular yang dikontrol secara tidak langsung oeh pemerintah pusat. Dalam hal ini delegasi berkaitan dengan perimbangan kepentingan pusat dan daerah. Dan devolusi sendiri berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan control tertentu terhadap sumber-sumber daya diberikan kepada pejabat-pejabat regional dan lokal di mana pemerintah daerah mendapat kekuasaan yang tidak dikontrol oleh pusat. Apabila pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut.
Teori yang ketiga yaitu desentralisasi fiskal. Diartikan sebagai penembahan tanggungjawab keuangan dan kemampuan daerah dengan adanya penyerahan kewenangan dan tanggungjawab fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan desentralisasi fiskal maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melakukan pembelanjaan, memungut pajak (taxing power), dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat.
Secara umum tujuan dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk menciptakan pemerintah daerah yang demokratis, transparan, meningkatkan kapasitas administrasi, dan lebih mandiri dan mampu di dalam pengelolaan fiskal. Namun demikian desentralisasi tetap memiliki segi positif dan negatif tersendiri.
Segi positifnya yaitu desentralisasi sering dianggap sebagai alternatif dari kebijakan sentralisme yang otoriter, yakni selain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, desentralisasi dipandang mampu membawa kebijakan pembangunan lebih dekat dengan masyarakat. Model pembuatan dan implementasi kebijakan dari atas sering dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal, karena itulah melalui desentralisasi, pemerintah akan dapat bekerja lebih efektif dan efisien dalam membuat kebijakan yang berdasar pada kebutuhan masyarakat lokal. Selain itu, wilayah yang relative terbatas menjadikan efisiensi pelayan publik lebih maksimal.
Berdasarkan dari teori pilihan public (theory of public choice) yang dikemukakan oleh Tiebout, desentralisasi merupakan instrumen penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Argumen dasar teori ini yaitu “man is an egoistic, rational utility maximizer” (Mueller 1979: 1). Dijelaskan oleh Tiebout (1956: 418) bahwa pada dasarnya masyarakat cenderung memilih untuk berada di tempat di mana pemerintah daerahnya mampu memenuhi preferensinya. Desentralisasi didasarkan atas asas demokrasi sehingga di dalamnya terdapat mekanisme voice’ dan ‘exit’ seperti yang dikemukakan oleh Hirschman. Masyarakat bisa menggunakan ‘voice’ untuk menyalurkan aspirasinya. Dan ketika suaranya tidak didengar, mereka bisa ‘exit’, yaitu dengan berpindah pada pelayanan yang lain atau berpindah wilayah bahkan Negara yang menawarkan pilihan yang mereka kehendaki.
Selain itu, menurut pendapat yang dikemukakan oleh Elinor Ostrom, et al., desntralisasi mampu mendorong adanya akuntabilitas pemerintahan serta mereduksi korupsi di dalam pemerintahan. Melalui desentralisasi, masyarakat di daerah memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap apa yang dilakukan oeh pemerintahnya, sehingga mendorong terjadinya demokratisasi. Seperti yang terjadi di Brazil, desentralisasi pelayanan kesehatan mampu mendorong pemerintah daerah untuk melakukan berbagai inisiatif di salam melayani program-program kesehatan masyarakat.
Sekalipun demikian banyak segi positif dari desentralisasi, namun implementasi kebijakan ini tidak mudah karena kesulitannya yang beraneka ragam. Pertama, kurangnya komitmen dan dukungan elit politik nasional. Kedua, miskinnya sumber daya. Ketiga, berkurangnya perangkat kelembagaan yang menyertai pelaksanaan desentralisasi.
Prud’homme berpendapat bahwa desentralisasi bukan satu-satunya jalan untuk mencapai keadilan wilayah atau redistribusi kemakmuran. Karena upaya pemerintah daerah untuk mengurangi kesenjangan sering tidak adil. Konsekuensinya yaitu penduduk miskin di daerah yang maju akan lebih makmur daripada penduduk miskin di daerah berkembang. Redistribusi yang terdesentralisas pun dipadang sebagai “self-defeating”. Yaitu ketika suatu daerah menerapkan kebijakan redistribusi pendapatan melalui pengenaan pajak yang tinggi kepada orang kaya dan memberi keuntungan kepada orang miskin, maka orang kaya tersebut akan cenderung memilih untuk pindah ke daerah lain dengan tariff pajak rendah. Selain itu menurut Prud’homme, desentralisasi tidak cocok untuk membangun stabilitas ekonomi makro.
Berbeda dengan studi kasus oleh Montgomery dan Blair bahwa desentralisasi menguntungkan penduduk miskin dalam masyarakat, Gaiden dan Wildavsky justru menyebutkan sebaliknya. Dalam studi kasus mereka dinyatakan bahwa bila tanggungjawab dipisahkan, elit lokal akan mengambil keuntungan dari suatu proyek bagi kepentingan mereka sendiri. Hal ini menyebabkan hilangnya kesejahteraan akibat buruknya fasilitas public yag dibangun.
Desentralisasi merupakan suatu upaya mmepercepat proses demokratisasi di Indonesia melalui otonomi daerah dengan harapan bahwa daerah mampu mengelola pembangunan dan perekonomiannya dengan lebih baik. Namun selain segi positif dari keberhasilan desentralisasi, sisi negatif dari kesulitan dan kegagalan desentralisasi pun mengancam stabilitas ekonomi dan politik Negara itu sendiri.

B.     ANALISIS
Penerapan desentralisasi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1974 dan telah menyumbang perubahan besar bagi Indonesia. Dari pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang sangat demokratik. Segi positif dari  dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia yaitu meningkatkan transparansi informasi, mendorong proses demokratisasi di Indonesia, serta meningkatnya kualitas pelayanan publik. Namun desentralisasi juga berpeluang memunculkan dominasi kontrol elit lokal yang menghasilkan ketidakutuhan informasi sehingga  menimbulkan inefisiensi kelembagaan.
Lemahnya pengawasan dan penegakan kelembagaan (lack of enforcement) merupakan hal yang krusial dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perubahan kelembagaan desentralisasi dan otonomi daerah telah mengakibatkan ketidakjelasan siapa yang menjadi pemberi kewenangan (principal) dan siapa yang diberi kewenangan atau yang mewakili (agent), sehingga terjadilah ketidakharmonisan kelembagaan serta mneghambat terselenggaranya tatakelola yang baik. Seperti yang diungkapkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yakni pada semester I tahun 2010 (ICW, 2010) menunjukkan bahwa penyumbang kerugian keuangan negara akibat korupsi yang terjadi adalah keuangan daerah. Rendahnya disiplin anggaran, daya serap rendah, rendahnya pertanggungjawaban atas kegiatan, penyimpangan, atas pengelolaan pendapatan dan belanja daerah dan rendahnya akuntabilitas pertanggungjawaban keuangan merupakan permasalahan pokok yang disebutkan oleh BPK.(BPK, 20lO).
Penyalahgunaan wewenang untuk mengeruk keuntungan pribadi menjadi penghambat pertumbuhan suatu daerah sehingga dapat menjadi salah satu penyebab ketertinggalan daerah tersebut. Ketertinggalan suatu daerah merupakan contoh ketidakmerataan pembanguann. Seperti yang dijelaskan dalam beberapa teori di atas, desentralisasi dan otonomi daerah justru mampu menciptakan peluang kecurangan-kecurangan bagi kaum yang memiliki kekuasaan, yakni kaum elit dan kaum kapitalis.
Selain itu, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah seperti dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No: 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU No. 29/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah belum meningkatkan kekuatan fiskal bagi pemerintah kabupaten dan kota, hal ini menyebabkan pemerintah daerah masih tergantung dana dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat masih mempertahankan pajak-pajak gemuk seperti pajak pendapatan, pajak nilai tambah dan pajak cukai. Dengan kata lain, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah belum dapat mengurangi ketidakseimbangan fiskal secara vertikal (vertical fiscal imbalances). Selain itu, sistem kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang simetris (symmetrical decentralization) di Indonesia juga telah menyebabkan ketidakseimbangan fiskal secara horizontal (horizontal fiscal imbalances), terutama antara Pulau Jawa dan Luar Jawa.
Untuk mengefektifkan desentralisasi, menurut Crook dan Sverrisson, diperlukan adanya relasi yang baik antara pusat dan daerah. Yang terjadi di Indonesia selama ini adalah kurangnya relasi pusat-daerah tersebut. sehingga yang seringkali terjadi adalah kebijakan yang dibuat kurang efektif. Selain itu akibat dari buruknya relasi pusat-daerah ini menyebabkan juga menyebabkan kurangnya pengawasan dari pusat terhadap pemerintahan yang sedang berjalan di daerah-daerah. Dengan adanya relasi pusat-daerah yang baik kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat tidak akan bertentangan dengan kebijakan di daerah, sehingga tercipta suatu kesinambungan yang saling menguntungkan.



BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Kebijakan desentralisasi masih mengundang pro dan kontra mengingat dampak positif dan negative yang mengiringinya. Dianggap sebagai solusi bagi sentralisasi yang dinilai hanya memusatkan pembangunan di daerah tertentu saja, desentralisasi akan mampu menciptakan pembangunan yang lebih merata.
Desentralisasi mampu menumbuhkan kemandirian ekonomi daerah, dan mendorong demokratisasi di Indonesia. Namun di sisi lain, desentralisasi juga membuka celah yang lebar terhadap kemungkinan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para elit. Memungkinkan adanya kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan satu pihak saja. Dengan demikian efektifitas desentralisasi sebagai upaya pemerataan pembangunan dan ekonomi daerah justru terhambat. Alih-alih menciptakan pemerataan, desentralisasi justru menyumbang adanya kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Untuk membuat desentralisasi berjalan dengan efektif diperlukan adanya kerjasama yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Agar kebijakan desentralisasi dapat dilaksanaan dan diawasi denga baik. Sehingga terwujud suatu sistem desentralisasi yang sesuai dengan tujuan, yakni pemerataan dan demokratisasi.



DAFTAR PUSTAKA


Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia. Jakrta: Kencana.
Bryant, Coralie dan Lousie G. White. 1987. Management Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Jaya, Wihana Kirana. 2010. Kebijakan Desentralisasi di Indonesia dalam Perspektif Teori Kelembagaan (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Hermawan, Dudi. 2007. Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal terhadap Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar