BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pemerataan
menjadi masalah yang sangat krusial saat
ini. Banyak wacana bertopik pemerataan di sejumlah media masa. Pemerintah
begitu mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun terkesan tidak memandang
serius mengenai masalah pemerataan. Memang Indonesia tengah mengalami kenaikan
dalam laju pertumbuhan ekonomi. Tetapi laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tersebut justru diikuti dengan kesenjangan pendapatan penduduk yang cukup
signifikan. Ketidakmerataan wilayah perkotaan dan pedesaan disebut-sebut menjadi momok terhadap isu-isu gerakan
kemerdekaan di berbagai wilayah di indonesia.
Sistem
desentralisasi dan otonomi daerah yang diterapkan telah menunjukkan kesuksesan dengan
adanya peningkatan efisiensi dan efektifitas pelayanan sektor publik, serta
berhasil dalam mengakomodasi dari tekanan kekuatan-kekuatan politik. Namun di
sisi lain ketidakberhasilan desentralisasi juga mengancam stabilitas ekonomi
dan politik serta mengganggu penyediaan pelayanan publik (Bird and Vaillancourt,
1998; Ter-Minassian, 1997; World Bank, 2000; Shah, 2003). Salah satu akibat
yang ditimbulkan adalah adanya vertical
imbalance dan horizontal imbalance.
Pertumbuhan
di kota-kota besar melaju dengan pesat, dengan modernitas yang tinggi mengikuti
sejalan dengan arus globalisasi. Namun tak dapat kita menutup mata terhadap
wilayah-wilayah tertinggal, dengan kehidupan yang masih bergantung pada alam. Seperti
wacana yang dikutip dari Antara News Online berikut.
“Jakarta (ANTARA News) -
Ketua DPD RI Irman Gusman mengatakan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di
Indonesia hanya melahirkan segelintir orang super kaya dan membuat kesenjangan
sosial ekonomi di negara ini semakin besar.
"Pertanyaannya
apakah potensi pertumbuhan ekonomi yang besar bisa melahirkan pertumbuhan yang
merata, adil, dan berkelanjutan? Faktanya justru kesenjangan sosial ekonomi
makin menganga," kata Irman dalam acara Seminar Nasional "Mewujudkan Pertumbuhan
yang Berkeadilan dan Berkelanjutan" di Jakarta, Senin siang.
Irman kemudian memaparkan
data jumlah orang kaya Indonesia dalam Global Wealth Report yang dilansir
Credit Sussie pada 11 Oktober. Dalam laporan tersebut tercatat Indonesia
memiliki 104 ribu orang kaya, dan jumlah tersebut diperkirakan naik 99 persen
hingga menjadi 207 ribu orang kaya.
Tak hanya itu, Indonesia
juga diperkirakan menjadi satu dari lima negara dengan laju pertumbuhan orang
kaya tertinggi di dunia bersama Brazil, Rusia, Malaysia, dan Polandia.
Global Wealth juga
melaporkan selama satu tahun terakhir, jumlah orang kaya dengan nilai harta di
atas 30 juta dolar AS di Indonesia telah meningkat 4,7 persen menjadi 785
orang.
Dari jumlah tersebut,
miliarder dengan rata-rata kekayaan minimal 2 miliar dolar AS tercatat
berjumlah 25 orang, sementara kalangan super kaya Indonesia dengan kekayaan
minimal 30 hingga 49 juta dolar AS berjumlah 380 orang.
"Total 405 orang
super kaya di Indonesia itu punya total kekayaan mencapai 120 miliar dolar AS
(Rp1,150 triliun) atau sekitar 80 persen dari APBN 2012," ungkap Irman.
Padahal, menurut data
yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin Indonesia masih
cukup tinggi walaupun telah berkurang dari 2011. Pada Maret 2012 penduduk
miskin Indonesia berjumlah 29,13 juta orang atau sebanyak 11,96 persen dari
jumlah seluruh penduduk Indonesia.
"Paradoks ini
menunjukkan ada kesalahan paradigmatik yang cukup fatal dalam mendesain
pertumbuhan. Orientasi kita bagaimana mengejar pertumbuhan angka makro, tanpa
melihat apakan pertumbuhan makro sudah sejalan dengan konstitusi," kata
Irman.
Lebih lanjut, menurut
Irman, di Indonesia masih terjadi sentralisme ekonomi di mana konsentrasi
investasi dan peredaran uang lebih banyak ada di Pulau Jawa.
"Kalau peredaran
uang dipakai sebagai indikator, 65 persen peredaran uang ada di Jabodetabek, 25
persen di luar Jabodetabek tapi maish di Pulau Jawa, sementara 10 persen di
provinsi lainnya. Kalau industri, jelas 80 persen ada di Pulau Jawa terutama
Jabodetabek," tambah Irman.
"Di satu sisi,
demokratisasi memberi kebebasan politik dan pers, namun di sisi lain belum
sejalan dengan domkratisasi ekonomi. Hal ini juga membuktikan orientasi
pertumbuhan makro ternyata belum menjamin terwujudnya keadilan dan
pemerataan," pungkas Irman.”(www.antaranews.com, 15 Oktober 2012)
Berdasarkan
wacana di atas dapat kita lihat sekalipun pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi
distribusi pendapatan tidak merata. Meskipun desentralisasi fiskal telah
diterapkan sejak 1974 lalu hingga sekarang, konsentrasi ekonomi saat ini masih
tersentral di Pulau Jawa. Desentralisasi dianggap sebagai salah satu solusi
efektif dalam upaya mengurangi ketimpangan ekonomi dan pembangunan di
Indonesia. Tetapi mengapa dalam penerapannya hasil yang didapatkan justru tidak
sedemikian efektif? Masih dapat kita jumpai daerah-daerah yang relatif tertinggal
dibandingkan dengan daerah lain.
Makalah
ini akan mencoba memaparkan mengenai penyebab ketidakefektifan desentralisasi
dalam penyelesaian masalah pemerataan di Indonesia.
B. RUMUSAN
MASALAH
Pelaksanaan
otonomi daerah sebagai wujud penerapan sistem desntralisasi di Indonesia
bertujuan untuk mengurangi ketidakmerataan perekonomian dan pembangunan antar
daerah (horizontal imbalance) serta
antara pemerintah pusat dengan daerah (vertical
imbalance). Yaitu dengan memberdayakan potensi daerah dan meningkatkan
kemampuan daerah dalam mengelola perekonomiannya, sehingga akan terjadi
pemerataan kemampuan ekonomi dan pembangunan antar daerah.
Pada
pelaksanaannya, sistem otonomi daerah ini tidak benar-benar mampu menanggulangi
masalah pemerataan. Terbukti dengan adanya pemberontakan menuntut kemerdekaan
di beberapa wilayah di Indonesia karena merasa tidak terperhatikan. Hal ini
menunjukkan adanya ketimpangan yang cukup besar akan kesejahteraan antara
wilayah maju dan wilayah terbelakang. Bukti lain yaitu berdasarkan data BPS
tahun 2012 disebutkan bahwa jumlah penduduk kaya dengan kekayaan minimal 30
juta dolar Amerika yaitu 785 jiwa, sedangkan penduduk miskin berjumlah 29,13
juta jiwa. Hal ini berarti bahwa di satu sisi ada segolongan orang yang sangat
kaya, sedangkan di sisi lain masih banyak masyarakat yang ekonominya rendah.
Maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidaklah menjamin
pemerataan distribusi pendapatan penduduk Indonesia.
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka pertanyaan yang muncul yaitu,
1. Bagaimanakah
sistem desentralisasi yang diterapkan di Indonesia?
2. Mengapa
desentralisasi fiskal tidak mampu menjamin pemerataan perekonomian dan
pembangunan daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN
TEORI
Menurut
Litvack dan Seddon, 1999 dan Shah 1998, kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia telah menggunakan tiga
tipe teori desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi
administrasi, dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi politik sering disebut
sebagai otonomi daerah, yaitu suatu mekanisme di mana pemerintah pusat
memberikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah.
Desentralisasi
administratif adalah penyerahan wewenang administratif dari pusat kepada
pemerintah daerah. Ada tiga bentuk desentralisasi administrative, yaitu
dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Dekonsentrasi yaitu pemberian
tanggungjawab pemerintah pusat untuk beberapa pelayanan kepada pemerintah
daerahnya. Delegasi adalah pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada
organisasi yang berada di luar struktur birokrasi regular yang dikontrol secara
tidak langsung oeh pemerintah pusat. Dalam hal ini delegasi berkaitan dengan
perimbangan kepentingan pusat dan daerah. Dan devolusi sendiri berarti bahwa
wewenang pembuatan keputusan dan control tertentu terhadap sumber-sumber daya
diberikan kepada pejabat-pejabat regional dan lokal di mana pemerintah daerah
mendapat kekuasaan yang tidak dikontrol oleh pusat. Apabila pemerintah daerah
belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, pemerintah pusat akan memberikan
supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut.
Teori
yang ketiga yaitu desentralisasi fiskal. Diartikan sebagai penembahan
tanggungjawab keuangan dan kemampuan daerah dengan adanya penyerahan kewenangan
dan tanggungjawab fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan
desentralisasi fiskal maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk
melakukan pembelanjaan, memungut pajak (taxing
power), dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat.
Secara
umum tujuan dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk
menciptakan pemerintah daerah yang demokratis, transparan, meningkatkan
kapasitas administrasi, dan lebih mandiri dan mampu di dalam pengelolaan
fiskal. Namun demikian desentralisasi tetap memiliki segi positif dan negatif
tersendiri.
Segi
positifnya yaitu desentralisasi sering dianggap sebagai alternatif dari
kebijakan sentralisme yang otoriter, yakni selain untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi, desentralisasi dipandang mampu membawa kebijakan pembangunan lebih
dekat dengan masyarakat. Model pembuatan dan implementasi kebijakan dari atas
sering dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal, karena itulah
melalui desentralisasi, pemerintah akan dapat bekerja lebih efektif dan efisien
dalam membuat kebijakan yang berdasar pada kebutuhan masyarakat lokal. Selain
itu, wilayah yang relative terbatas menjadikan efisiensi pelayan publik lebih
maksimal.
Berdasarkan
dari teori pilihan public (theory of
public choice) yang dikemukakan oleh Tiebout, desentralisasi merupakan instrumen
penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Argumen dasar teori ini
yaitu “man is an egoistic, rational
utility maximizer” (Mueller 1979: 1). Dijelaskan oleh Tiebout (1956: 418)
bahwa pada dasarnya masyarakat cenderung memilih untuk berada di tempat di mana
pemerintah daerahnya mampu memenuhi preferensinya. Desentralisasi didasarkan
atas asas demokrasi sehingga di dalamnya terdapat mekanisme voice’ dan ‘exit’ seperti yang dikemukakan oleh Hirschman. Masyarakat bisa
menggunakan ‘voice’ untuk menyalurkan
aspirasinya. Dan ketika suaranya tidak didengar, mereka bisa ‘exit’, yaitu dengan berpindah pada
pelayanan yang lain atau berpindah wilayah bahkan Negara yang menawarkan
pilihan yang mereka kehendaki.
Selain
itu, menurut pendapat yang dikemukakan oleh Elinor Ostrom, et al., desntralisasi mampu mendorong adanya akuntabilitas
pemerintahan serta mereduksi korupsi di dalam pemerintahan. Melalui
desentralisasi, masyarakat di daerah memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap
apa yang dilakukan oeh pemerintahnya, sehingga mendorong terjadinya
demokratisasi. Seperti yang terjadi di Brazil, desentralisasi pelayanan
kesehatan mampu mendorong pemerintah daerah untuk melakukan berbagai inisiatif
di salam melayani program-program kesehatan masyarakat.
Sekalipun
demikian banyak segi positif dari desentralisasi, namun implementasi kebijakan
ini tidak mudah karena kesulitannya yang beraneka ragam. Pertama, kurangnya
komitmen dan dukungan elit politik nasional. Kedua, miskinnya sumber daya.
Ketiga, berkurangnya perangkat kelembagaan yang menyertai pelaksanaan
desentralisasi.
Prud’homme
berpendapat bahwa desentralisasi bukan satu-satunya jalan untuk mencapai
keadilan wilayah atau redistribusi kemakmuran. Karena upaya pemerintah daerah
untuk mengurangi kesenjangan sering tidak adil. Konsekuensinya yaitu penduduk
miskin di daerah yang maju akan lebih makmur daripada penduduk miskin di daerah
berkembang. Redistribusi yang terdesentralisas pun dipadang sebagai “self-defeating”. Yaitu ketika suatu
daerah menerapkan kebijakan redistribusi pendapatan melalui pengenaan pajak yang
tinggi kepada orang kaya dan memberi keuntungan kepada orang miskin, maka orang
kaya tersebut akan cenderung memilih untuk pindah ke daerah lain dengan tariff
pajak rendah. Selain itu menurut Prud’homme, desentralisasi tidak cocok untuk
membangun stabilitas ekonomi makro.
Berbeda
dengan studi kasus oleh Montgomery dan Blair bahwa desentralisasi menguntungkan
penduduk miskin dalam masyarakat, Gaiden dan Wildavsky justru menyebutkan
sebaliknya. Dalam studi kasus mereka dinyatakan bahwa bila tanggungjawab
dipisahkan, elit lokal akan mengambil keuntungan dari suatu proyek bagi
kepentingan mereka sendiri. Hal ini menyebabkan hilangnya kesejahteraan akibat
buruknya fasilitas public yag dibangun.
Desentralisasi
merupakan suatu upaya mmepercepat proses demokratisasi di Indonesia melalui otonomi
daerah dengan harapan bahwa daerah mampu mengelola pembangunan dan perekonomiannya
dengan lebih baik. Namun selain segi positif dari keberhasilan desentralisasi,
sisi negatif dari kesulitan dan kegagalan desentralisasi pun mengancam
stabilitas ekonomi dan politik Negara itu sendiri.
B. ANALISIS
Penerapan
desentralisasi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1974 dan telah
menyumbang perubahan besar bagi Indonesia. Dari pemerintahan yang otoriter
menjadi pemerintahan yang sangat demokratik. Segi positif dari dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia yaitu meningkatkan transparansi informasi, mendorong proses
demokratisasi di Indonesia, serta meningkatnya kualitas pelayanan publik. Namun
desentralisasi juga berpeluang memunculkan dominasi kontrol elit lokal yang
menghasilkan ketidakutuhan informasi sehingga menimbulkan inefisiensi kelembagaan.
Lemahnya
pengawasan dan penegakan kelembagaan (lack of enforcement) merupakan hal
yang krusial dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perubahan
kelembagaan desentralisasi dan otonomi daerah telah mengakibatkan
ketidakjelasan siapa yang menjadi pemberi kewenangan (principal) dan
siapa yang diberi kewenangan atau yang mewakili (agent), sehingga
terjadilah ketidakharmonisan kelembagaan serta mneghambat terselenggaranya tatakelola
yang baik. Seperti yang diungkapkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW)
yakni pada semester I tahun 2010 (ICW, 2010) menunjukkan bahwa penyumbang
kerugian keuangan negara akibat korupsi yang terjadi adalah keuangan daerah. Rendahnya
disiplin anggaran, daya serap rendah, rendahnya pertanggungjawaban atas
kegiatan, penyimpangan, atas pengelolaan
pendapatan dan belanja daerah dan rendahnya akuntabilitas
pertanggungjawaban keuangan merupakan permasalahan pokok yang disebutkan oleh
BPK.(BPK, 20lO).
Penyalahgunaan
wewenang untuk mengeruk keuntungan pribadi menjadi penghambat pertumbuhan suatu
daerah sehingga dapat menjadi salah satu penyebab ketertinggalan daerah
tersebut. Ketertinggalan suatu daerah merupakan contoh ketidakmerataan
pembanguann. Seperti yang dijelaskan dalam beberapa teori di atas,
desentralisasi dan otonomi daerah justru mampu menciptakan peluang
kecurangan-kecurangan bagi kaum yang memiliki kekuasaan, yakni kaum elit dan
kaum kapitalis.
Selain
itu, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah seperti dalam UU No. 32/2004
tentang Pemerintah Daerah, UU No: 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah, UU No. 29/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah
belum meningkatkan kekuatan fiskal bagi pemerintah kabupaten dan kota, hal ini menyebabkan
pemerintah daerah masih tergantung dana dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat
masih mempertahankan pajak-pajak gemuk seperti pajak pendapatan, pajak nilai
tambah dan pajak cukai. Dengan kata lain, kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah belum dapat mengurangi ketidakseimbangan fiskal secara vertikal (vertical
fiscal imbalances). Selain itu, sistem kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah yang simetris (symmetrical decentralization) di Indonesia juga
telah menyebabkan ketidakseimbangan fiskal secara horizontal (horizontal
fiscal imbalances), terutama antara Pulau Jawa dan Luar Jawa.
Untuk
mengefektifkan desentralisasi, menurut
Crook dan Sverrisson, diperlukan adanya relasi yang baik antara pusat dan
daerah. Yang terjadi di Indonesia selama ini adalah kurangnya relasi
pusat-daerah tersebut. sehingga yang seringkali terjadi adalah kebijakan yang
dibuat kurang efektif. Selain itu akibat dari buruknya relasi pusat-daerah ini
menyebabkan juga menyebabkan kurangnya pengawasan dari pusat terhadap
pemerintahan yang sedang berjalan di daerah-daerah. Dengan adanya relasi
pusat-daerah yang baik kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat
tidak akan bertentangan dengan kebijakan di daerah, sehingga tercipta suatu
kesinambungan yang saling menguntungkan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebijakan
desentralisasi masih mengundang pro dan kontra mengingat dampak positif dan
negative yang mengiringinya. Dianggap sebagai solusi bagi sentralisasi yang
dinilai hanya memusatkan pembangunan di daerah tertentu saja, desentralisasi
akan mampu menciptakan pembangunan yang lebih merata.
Desentralisasi
mampu menumbuhkan kemandirian ekonomi daerah, dan mendorong demokratisasi di
Indonesia. Namun di sisi lain, desentralisasi juga membuka celah yang lebar
terhadap kemungkinan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para elit.
Memungkinkan adanya kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan satu pihak saja.
Dengan demikian efektifitas desentralisasi sebagai upaya pemerataan pembangunan
dan ekonomi daerah justru terhambat. Alih-alih menciptakan pemerataan,
desentralisasi justru menyumbang adanya kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi
di Indonesia.
Untuk
membuat desentralisasi berjalan dengan efektif diperlukan adanya kerjasama yang
baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Agar kebijakan
desentralisasi dapat dilaksanaan dan diawasi denga baik. Sehingga terwujud
suatu sistem desentralisasi yang sesuai dengan tujuan, yakni pemerataan dan
demokratisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Marijan,
Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia.
Jakrta: Kencana.
Bryant,
Coralie dan Lousie G. White. 1987. Management
Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Jaya,
Wihana Kirana. 2010. Kebijakan
Desentralisasi di Indonesia dalam Perspektif Teori Kelembagaan (Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada).
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Hermawan, Dudi. 2007. Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal terhadap
Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar