Rabu, 19 November 2014

Review Bab 3 Buku "ILMU PENGETAHUAN SEBUAH TINJAUAN FILOSOFIS"



BAB III
SUMBER PENGETAHUAN: RASIONALISME DAN EMPIRISISME

Dalam sejarah filsafat, muncul dua aliran pemikiran berbeda dalam menyikapi skeptisisme. Yaitu rasionalisme dan empirisisme. Rasionalisme lebih dikenal dengan sebagai filsafat Kontinental karena tokoh-tokohnya kebanyakan berasal dari Eropa Daratan. Kaum rasionalis beranggapan bahwa kita dapat sampai pada pengetahuan yang pasti hanya dengan mengandalkan akal budi. Sedangkan kaum empirisis mengatakan bahwa kita bisa sampai pada pengetahuan yang pasti dengan mengandalkan pancaindra kita yang member kita informasi tentang objek tertentu. Empirisisme lebih dikenal sebagai filsafat Inggris karena tokoh-tokohnya berasal dari Inggris.
1.     Rasionalisme
Pandangan rasionalisme mengatakan bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang tidak mungkin salah. Sumber pengetahuan satu-satunya adalah akal budi manusa. Rasionalis menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan melalui pancaindra kita.
a.      Plato
Dapat dikatakan bahwa Plato adalah pemikir rasionalis pertama. Menurut Plato, satu-satunya pengetahuan sejati adalah apa yang disebutnya sebagai episteme, yaitu pengetahuan tunggal dan tak berubah, sesuai dengan ide-ide abadi. Hanya ide-ide itu saja yang bersifat nyata dan sempurna. Sedangkan segala hal lain hanya tiruan dank arena itu tidak nyata dan tidak sempurna.
Pengetahuan adalah pengenalan kembali akan hal yang sudah diketahui dalam Ide Abadi, yaitu kumpulan ingatan terpendam dalam benak manusia.

b.      Rene Descartes
Menurut Descartes, kita perlu tetap meragukan untuk sementara waktu apa saja yang tidak bisa dilihat dengan teranng oleh akal budi sebagai yang pasti benar dan tidak diragukan lagi, yang disebut sebagai keraguan metodis.keraguan metodis berfungsi sebagai alat untuk menyingkirkan semua prasangka, tebakan, dan dugaan yang menipu, dan karenanya menghalangi kita untuk sampai pada pengetahuan yang benar-benar punya dasar yang kuat. Atas dasar ini, Descartes beranggapan bahwa hanya akal budi yang dapat membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan manusia, ada dasar untuk merasa pasti dan yakin akan apa yang diketahui.
Pengalaman indrawi kita adalah salah satu unsur utama yang menipu dan menghalangi kita untuk sampai pada pengetahuan sejati. Contohnya, pancaindra menipu kita bahwa benda-benda di luar angkasa kecil saja. Hanya kalau apa yang ditangkap oleh pancaindra telah dilihat melalui terang akal budi sebagai pasti da tak bisa diragukan, apa yang ditangkap pancaindra itu bisa diterima sebagai pengetahuan. Semakin jelas ide tersebut dalam terang akal budi, semakin ide tersebut sesuai dengan realitas. Sebagaimana halnya dalam ilmu ukur, untuk sampai pada pengetahuan yang pasti dan tak teragukan lagi kita perlu mengandalkan akal budi.
Keraguan metodis bukanlah tujuan yang harus dicapai, melainkan hanya merupakan sarana untuk bisa menemukan sesuatu yang bisa kita ketahui secara pasti. Sehingga kita bisa sampai pada kebenaran tertentu yang tidak bisa lagi diragukan, dan ini memberi landasan yang kokoh bagi pengetahuan kita. Selain itu, juga supaya kita sampai pada pengetahuan yang bersifat umum atau universal, yaitu pengetahuan yang tidak terbatas pada objek khusus tertentu yang diberikan pancaindra dan karena itu bisa menipu.
Berpikir, akal budi, adalah unsur paling pokok dari manusa, sekaligus juga bagi penegtahuan manusia. Akal budi adalah landasan paling kokoh dan paling pokok dari pengetahuan manusia. Pengetahuan yang benar kita dapatkan melalui seleksi dari akal budi.

c.       Beberapa hal penting
Kita dapat merumuskan beberapa hal penting mengenai rasionalisme, yaitu, pertama, kaum rasionalis lebih mengandalkan geometri atau ilmu ukur dan matematika, yang memiliki aksioma-aksioma umum lepas dari pengamatan atau pengalaman pancaindra kita. Hanya akal budi yang bisa kita andalkan untuk bisa sampai pada pengetahuan.
Kedua, konsekuensinya, kaum rasionalis meremehkan peran pengalaman dan pengamatan pancaindra bagi pengetahuan. Bagi mereka pancaindra bisa menipu kita.
Karena kaum rasionalis lebih mengandalkan ilmu ukur dan matematika, mereka dengan sendirinya hanya menerima metode deduktif. Dengan cara ini, yang terjadi dalam proses pengetahuan manusia adalah bahwa manusia mendeduksikan, menurunkan, pengetahuan-pengetahuan particular dari prinsip-prinsip umum atau pertama yang bersifat pasti dan universal yang merupakan bawaan manusia dalam akal budinya jauh sebelum ia mengalami apapun juga. Semua pengetahuan adalah pengetahuan apriori yang terutama mengandalkan silogisme. Dikatakan apriori karen manusia sudah memiliki pengetahuan itu sebelum dan mendahului pengalaman. Ada aide-ide bawaan yang telah ada dalam benak manusia sejak lahir.
Jadi, bagi kaum rasionalis, kalau saya tahu bahwa p melalui penalaran, p pasti benar secara apriori tanpa perlu dibuktikan secara fakta dari pengalaman. Contohnya, “lilin pasti mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.” Proposisi ini pasti benar dengan sendirinya secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan, karena prinsip umum bahwa “Parafin selalu mencair pada suhu 60°C.” Karena unsure utama dari lilin adalah paraffin, maka dapat disimpulkan bahwa lilin pasti mencair dalam air yang sedang mendidih karena air mendidih pada suhu 100°C.

2.     Empirisisme
Empirisisme menganggapi persoalan skeptisisme: Bagaimana kita bisa sampai pada pengetahuan yang pasti benar?
Empirisisme adalah paham filosofis yang mengatakan bahwa sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia adalah pengalaman. Yang paling pokok untuk bisa sampai pada pengetahuan yang benar adalah data dan fakta yang ditagkap oleh pancaindra kita. Bagi kaum empirisis, semua pengetahuan manusia bersifat empiris.
Pancaindra memainkan peranan terpenting dibandingkan dengan akal budi karena: Pertama, semua proposisi yang kita ucapkanmerupakan hasil laporan dari pengalamanatau yang disimpulkan dari pengalaman. Kedua, kita tidak bisa punya konsep atau ide apa pun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi jika punya acuan ke realitas atau pengalaman. Dengan demikian, akal budi hanya mengkombinasikan pengalaman indrawi untuk sampai pada pengetahuan. Maka, tanpa pengalaman indrawi tidak ada pengetahuan apa-apa.
a.      John Locke
Menurut John Locke dalam bukunya An Essay Concerning Human Understanding, semua konsep atau ide yang mengungkapkan pengetahuan manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman manusia. Konsep atau ide-ide ini diperoleh dari pancaindra atau dari refleksi atas apa yang diberikan oleh pancaindra. Sebelum kita menangkap sesuatu dengan pancaindra kita, akal budi kita berada dalam keadaan kosong, tanpa isi apapun. Akal budi hanya bisa mengetahui sesuatu karen amendapat informasi yang diperoleh melalui pancaindra.
Ada dua macam ide, yaitu ide-ide sederhana dan ide-ide kompleks. Ide-ide sederhana adalah ide yang kita tangkap melalui penciuman, penglihatan, rabaan, dan semacamnya yang ditangkap secara langsung dan spontan.akal budi kemudian mengolah lebih lanjut ide-ide itu, dengan memikirkan, meragukan, mempertanyakan, menggolongkan, dan mengolah apa yang diberikan pancaindra, dan seterusnya, sehingga lahirlah refleksi yang memungkinkan adanya ide-ide yang lebih kompleks. Ide-ide sedrhana tidak bisa keliru sedangkan ide-ide kompleks bisa saja keliru.
Locke menegaskan bahwa pengetahuan manusia bersumber dari pengalaman, diperoleh dari sensasi langsung yang melahirkan ide-ide sederhana atau melalui refleksi atas sensasi langsung itu yang melahirkan ide-ide kompleks.
John Locke membedakan antara kualitas primer dari objek dan kualitas sekunder dari objek. Kualitas primer dari objek mencakup berat, gerak, luas, dan jumlah. Dalam menagkap kualitas-kualitas ini, pancaindra kita merepdroduksi sifat atau kualitas objektif pada objek itu apa adanya.  Sedangkan kualitas sekunder mencakup rasa, warna, paas-dingin, dan semacamnya. Dalam menangkap kualitas sekunder ini, pancaindra kita hanya mereproduksi sifat atau kualitas luar saja dari objek itu. Maka, kita hanya bisa sampai pada pengetahuan yang pasti, tak bisa diragukan, dan bersifat universal dalam kaitan dengan kualitas primer dari objek yang kita tangkap dengan pancaindra, bukan dengan kualitas sekunder, karena kualitas sekunder sangat ditentukan oleh sudut pandang, pancaindra, dan subjektivitas si subjek.
Ide muncul karena akal budi melalui pancaindra menangkap suatui objek. Sedangkan kualitas muncul karena objek memproduksi dalam diri kit aide tertentu. Jadi, supaya bisa terjadi pengetahuan, harus ada kerja sama antara subjek dan objek.

b.      David Hume
Dalm bukunya An Enquiry Concerning Human Understanding (1748), Hume menganut paham empirisisme bahwa semua materi pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi kita. Hanya saja, pemahaman manusia dipengaruhi oleh sejumlah kepastian dasar tertentu—mengenai dunia eksternal, mengenai masa depan, mengenai sebab—dan bahwa kepastian-kepastian ini merupakan bagian dari naluri alamiah manusia, yang tidak dihasilkan mau bisa dicegah oleh akal budi atauproses pemikiran manusia. Melalui naluri alamiah, manusia bisa mencapai kepastian-kepastian yang memungkinkan pengetahua manusia.
Hume membedakan dua proses mental dalam diri manusia. Pertama, adalah kesan (impresi), yang merupakan semua macam pencerapan pancaindra yang lebih hidupdan bersifat langsung. Kedua, pemikira atau ide yang kurang hidup dan kurang bersifat langsung. Dari impresi kemudian muncul ide-ide sederhana dari objek yang kita tangkap dengan pancaindra secara langsung yang selanjutnya akal budi manusia mampu melahirkan ide-ide majemuk yang tidak kita tangkap melalui pancaindra.
Keterkaitan antara ide-ide tersebut ada pada huku asosiasi dengan tiga unsure. Pertama, prinsip kemiripan; yang berarti ide tentag suatu objek cenderung melahirkan dalam akal budi kita objek lainnya yang serupa atau mirip sehingga kita mampu membuat klasifikasi atau pengelompokkan. Kedua, prinsip kontinuitas dalam tempat dan waktu, yang kecenderungan akal budi untuk mengingat hal lain yang punya kaitan dengan hal atau peristiwa lainnya. Ketiga, prinsip sebab dan akibat.
Dengan ketiga prinsip ini walaupun akal budi manusia tidak mengenal adanya ide-ide bawaan sejak lahir, namun akal budi sudah punya kecenderungan sejak lahir untuk mengolah dan menyusun ide-ide yang timbul melalui penyerapan pancaindra sehingga memungkinkan kita untuk berpikir atau menalar, yaitu untuk mengumpulkan ide-ide menjadi pemikiran atau proporsi.
Objek akal budi manusia dibagi menjadi dua: relasi ide-ide da kenyataan. Relasi ide-ide adalah ilmu ukur dan matematika. Sedangkan kenyataan sulit dipastikan kebenarannya karen ahal yang sebaliknya sangat mungkin terjadi. Kita tahu adanya fakta tertentu berdasarkan kesaksian indra kita. Kita bisa tahu lebih dari fakta yang ada berdasarkan prinsip sebab-akibat sehingga kita mampu membuat ramalan atau dugaan tertentu yang emlampaui fakta yang ada.
Pengetahuan dicapai bukan melalui penalaran apriori, emalinkan berdasarkan pengalaman ketika kita menemukan bahwa objek khusus tertentu selalu berkaitan dengan objek lainnya. Menurut Hume pula, kita tidak pernah tahu tentang hukum sebab akibat, melainkan kita mengalami hokum sebab akibat, yaitu bahwa suatu peristiwa selalu disusul oleh peristiwa yang lain. Contohnya, jika batu dilemparkan ke atas, hampir pasti akan jatuh ke tanah. Hokum sebab-akibat adalah peristiwa factual, suatu pengetahuan factual, bukan pengetahuan apriori.

c.       Beberapa hal penting
Ada beberapa hal penting menyagkut pandangan empirisisme. Pertama, kaum empirisis mengakui bahwa persepsi atau proses pengindraan sampai tingkat tertentu tidak dapat diragukan. Yang bisa keliru adalah daya nalar manusia dalam menangkap dan memutuskan apa yang ditangkap oleh pancaindra itu.
Kedua, dari empirisisme Hume terlihat jelas bahwa empirisisme hanyalah sebuah tesis tentang pengetahuan empiris, yaitu pengetahuan tentang dunia yang berkaitan dengan pengalaman manusia, tidak bermaksud menyangkut pengetahuan apriori. Empirisis mengakui bahwa ada pengetahuan tertentu yang tidak diperoleh melalui pengalaman indrawi.
Ketiga, karena lebih menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan manusia, kaum empirisis lebih menekankan metode pengetahuan induktif, yaitu cara kerja ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri pada pengamatan, eksperimen untuk bisa sampai pada pengetahuan yang umum tak terbantahkan. Sikap ini memacu percobaan yang didasarkan pada observasi dan penelitian empiris.
Walaupun sama-sama menganggap serius metode keraguan yang dilontarkan kaum skeptic, kaum rasonalis berakhir dengan menegaskan kebenaran mutlak pengetahuan manusia yang diperoleh akal budi manusia. Sedangkan kaum empiris menegaskan sikap skeptic itu dengan menganggap kebenaran penegatahuan manusia, khususnya pengetahuan empiris sebagai bersifat sementara.
Yang keempat, kepastian mengenai pengetahuan empiris harus dicek berdasrkan pengamatan, data, pengalaman, dan bukan berdasarkan akal budi.

3.     Sebuah Sintesis
a.      Beberapa unsure sintesis
Kedua pemikiran di atas sama-sama memiliki kebeanaran dan kesalahan. Rasonalis benar ketika mengatakan bahwa pengetahuan manusia bersumber dari akal budi manusia. Dan kaum empirisis juga benar bahwa pengetahuan manusia bersumber dari pengalaman manusia. Keduanya keliru, karen aterlalu ekstrem menganggap pengetahua hanya bersumber dari salah satu saja, antara akal budi atau pengalaman indrawi manusia.
Sintesis antara kedua paham ini, sesungguhnya kita temukan pada pendapat Aristoteles yang menolak pandangan Plato bahwa pengetahuan hanyalah ingatan akan Ide-ide Abadi. Bagi Aristoteles, pengetahuan manusia tercapai sebagai hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang banyak, lalu menarik unsure-unsur universal dari yang particular. Jadi, pengetahuan diperoleh dengan ajalan abstraksi yang dilakukan atas bantuan akal budi terhadap kenyataan yang bisa diamati.
Manusia tidak hanya “tahu akna” atau “tahu bahwa” sesutau terjadi sebagaimana dilaporkan oleh panaindranya, melainkan juga “tahu mengapa” sesuatu terjadi sebagaimana adanya. Dengan kemampuan akal budinya, mampu mengadakan refleksi dan abstraksi tentang peristiwa atau kenyataan yang diungkap oleh pancaindra sehingga sampai pada pengetahuan yang universal. Maka, pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindra dan akal budi, adalah pengetahuan yang lebih umum dan sekaligus lebih pasti.

b.      Immanuel Kant
Sukses Kant yang terbesar adalah bahwa ia mendamaikan antara empirisisme dan rasionalisme. Menurut pendapat Kant, baik pancaindra dan proses pengindraan maupun akal budi dan proses penalaran sama-sam ikut berpera bagi lahirnya pengetahuan manusia. Keduanya sama-sama berperan bagi konsepsi kita mengenai dunia di sekitar kita. Kekeliruan rasionalisme dan empirisisme dalah bahwa keduanya terlalu ekstrem beranggapan, khususnya kaum rasionalis. Menurut Kant, mengalami dunia dan berpikir tentang dunia sesungguhnya berkaitan satu sama lain. Ketika saya melihat dunaia, saya sekaligus juga berpikir tentang dunia yang sama.
Meskipun pengetahuan berasal dari pengalaman pancaindra, dalam diri manusia sesungguhnya sudah ada kategori-kategori, bentuk, atau forma sebagaimana dikatakan Plato, yang memungkinkan kita menangkap benda-benda itu sebagaimana adanya. Kategori-kategori itu, pertama, menyangkut ruang da waktu. Yaitu bahwa benda-benda di alam semesta ini selalu ditangkap sebagai fenomena dalam ruang dan waktu tertentu dan tidak pernah berada di luar ruang dan waktu.
Kedua, dalam benak kita sudah ada kategori hokum sebab dan akibat. Berbeda dengan Hume, Kant berpendapat bahwa hokum sebab akibat adalah suatu bentuk yang sudah ada dalam benak manusia sejak lahir, yang bersifat abadi dan mutlak karen aakal budi manusia menangkap segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sebagi terjadi dalam hubungan sebab dan akibat.
Ada dua unsure yang ikut melahirkan pengetahuan manusia. Pertama adalah kondisi ekternal manusia yang menyangkut benda-benda yang tidak bisa kita ketahui sebelum kita menangkapnya dnegan pancaindra kita, yang disebut sebagai objek material dari pengetahuan. Berarti, benda sebagaimana ditangkap pancaindra dan hanya diketahui melalui pancaindra. Kedua adalah kondisi internal yang ada dalam diri manusia itu sendiri, menyangkut kategori ruang dan waktu serta hokum sebab-akibat, yang disebut sebagai objek formal pengetahuan. Yang berarti bahwa objek sebagaimana ditangkap secara apriori dengan akal budi manusia sebagai terjadi dalam ruang dan waktu dan dalam kaitan sebab-akibat tertentu.
Ada dua cara yang saling terkait dan menunjang satu sama lain untuk bisa sampai pada suatu pengetahuan. Pertama, secara empiris, yaitu dengan mengacu pada pengalama dan pengamatanindrawi, pada bagaimana benda atau objek tertentu tampak pada kita melalui pancaindra. Untuk mengetahui bahwa p benar, kita tidak mengacu pada akal budi, melainkan pada bagaimana objek yang dinyatakan dalam proposisi itu tampak pada kita.
Kedua, suatu objek hanya bisa ditangkap oleh pancaindra kalau kita sudah mempunyai kategori-kategori tertentu. Ada pengetahuan transcendental yang member kerangka yang memungkinkan objek dapat dialami. Kita tidak pernah punya pengetahuan tertentu tentang benda pada dirinya sendiri melainkan hanya mengetahui benda yang tampak (melalui pancaindra) pada kita, yang selalu berlangsung dalam kategori-kategori ruang dan waktu serta hokum sebab-akibat. Ini disebut sebagai Revolusi Kopernikus. Dengan kedua cara ini, di satu pihak dalam fungsi empirisnya akal budi menarik hokum-hukum tertentu dari fenomena alam, di pihak lain dalam fungsi transendentalnya akal budi menjelaskan fenomena tertenntu dari alam sebagai fenomena hokum alam.
Kesimpulannya, pertama, manusa sesungguhnya sudah punya bakat untuk mengetahui sesuatu.  Kedua, berkaitan dengan itu, Kant mendamaikan metode induksi yang diandalkan kaum empirisis dengan metode deduktif dari kaum rasionalis. Di satu pihak kita memang mengandalkan fakta dan data untuk bisa sampai pada pengetahuan yang benar. Tetapi di pihak lain untuk menangkap fakta dan data itu kita perlu sudah mempunyai konsep atau pemahaman tertentu. Jika tidak, fakta dan data itu tidak akan punya makna bagi pengetahuan tertentu. Namun tidak benar bahw manusia lair dengan membawa pengetahuan apriori dalam benaknya. Manusia hanya tahu tentang benda tertentu dalam ala mini sebagai bernama ini dan itu, berkat pengalaman dan pengajaran dari orang lain. Jadi, bagaimanapun pengalaman ikut memainkan peranan penting bagi pengertian dan pengetahuan tentang sesuatu tanpa menyangkal pentingnya akal budi dalam mengolah pengalama itu agar menjadi pengetahuan.


4.     Pengetahuan Apriori dan Pengetahuan Aposteriori
Istilah apriori secara harfiah berarti “dari yang lebih dulu atau sebelum”, sedangkan istilah aposteriori berarti ‘dari apa yang sesudahnya”. Menurut Aristoteles, A lebih dulu dari B jika dan hanya jika B tidak bisa ada tanpa A.
Meurut Leibniz, mengetahui realitas secara aposteriori berarti mengetahuinya berdasrkan apa yang ditemukan secara actual di dunia ini, yaitu melalui pancaindra, dari pengaruh yang ditimbulkan realitas itu dalam pengalaman kita. Disebut sebagai “kebenaran aposteriori, atau kebenaran yang berasal dari fakta.” Sedangkan mengetahui realitas secara apriori adalah mengetahuinya dengan mengenakan sebab pada realitas itu, dengan memahami apa yang menjadi sebabnya, apa yang menimbulkan dan memungkinkan hal itu terjadi. Disebut sebagai “ kebenaran apriori, kebenaran yang berasal dari akal budi.” Kebenaran apriori dapat dibuktikan dengan melihat keterkaitannya dengan proposisi yang sama, sedangka kebenaran aposteriori hanya bisa dilihat sebagai benar berdasarkan pengalaman.
Kant membedakannya sebagai pembedaan antara apa yang berasal dari pengalaman dan apa yang tidak ebrasal dari pengalaman, atau apakah suatu konsep dapat dibuktikan kebenarannya dengan memberikan alasan atau sebabnya atau tidak, yang selanjutnya berkembang menjadi pembedaan antara pengetahuan empiris dan pengetahuan yang bukan empiris. Selanjutnya berkembang pula menjadi pembedaan antara proposisi. Proposisi aposteriori adalah proposisi yang kebenarannya hanya bisa diketahui dengan merujuk pada pengalama tertentu. Sedangkan proposisi apriori adalah proposisi yang kebenrannya bisa diketahui lepas dari pengalaman, yang dapat dibuktikan hanya dengan mengadalkan akal budi tanpa harus merujuk pada pengalaman apapun. Proposisi ini menyuguhkan kebenaran yang berasal dari proposisi itu sendiri.
Ada anggapan bahwa pembedaan antara aposteriori dan apriori ini juga berlaku bagi pembedaan yang diberikan oleh Kant antara putusan sintesis dan putusan analitis. Putusan sintesis adalah putusan di mana predikatnya menambahkan sesuatu yang baru pada subjeknya. Sedangkan putusan analitis adala putusan  di mana predikatnya tidak menambah apa-apa pada subjeknya. Ternyata anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Karen apendapat ini seolah mengatakan bahwa semua proposisi analitis adalah proposisi yang apriori, dan semua proposisi sintesis adalah proposisi aposteriori. Adahal menurut Kant, ada juga proposisi atau pengetahuan apriori yang mengandug kebenaran sintesis. Jadi, ada pengetahuan sintesis apriori. Misalnya, “Setiap peristiwa ada sebabnya.”. ini proposisi apriori karena kebenarannya diketahui secara apriori lepas dari pengalaman apapun. Akan tetapi proposisi ini bukan analitis karena predikatnya menjelaskan sesuatu yang baru sama sekali pada subjeknya.

sumber :
Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar