BAB III
SUMBER PENGETAHUAN: RASIONALISME DAN
EMPIRISISME
Dalam sejarah filsafat,
muncul dua aliran pemikiran berbeda dalam menyikapi skeptisisme. Yaitu
rasionalisme dan empirisisme. Rasionalisme lebih dikenal dengan sebagai
filsafat Kontinental karena tokoh-tokohnya kebanyakan berasal dari Eropa
Daratan. Kaum rasionalis beranggapan bahwa kita dapat sampai pada pengetahuan
yang pasti hanya dengan mengandalkan akal budi. Sedangkan kaum empirisis
mengatakan bahwa kita bisa sampai pada pengetahuan yang pasti dengan
mengandalkan pancaindra kita yang member kita informasi tentang objek tertentu.
Empirisisme lebih dikenal sebagai filsafat Inggris karena tokoh-tokohnya
berasal dari Inggris.
1.
Rasionalisme
Pandangan rasionalisme
mengatakan bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita
bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yaitu pengetahuan yang tidak
mungkin salah. Sumber pengetahuan satu-satunya adalah akal budi manusa.
Rasionalis menolak anggapan bahwa kita bisa menemukan pengetahuan melalui
pancaindra kita.
a. Plato
Dapat dikatakan bahwa Plato adalah pemikir
rasionalis pertama. Menurut Plato, satu-satunya pengetahuan sejati adalah apa
yang disebutnya sebagai episteme,
yaitu pengetahuan tunggal dan tak berubah, sesuai dengan ide-ide abadi. Hanya
ide-ide itu saja yang bersifat nyata dan sempurna. Sedangkan segala hal lain
hanya tiruan dank arena itu tidak nyata dan tidak sempurna.
Pengetahuan adalah pengenalan kembali akan hal yang sudah
diketahui dalam Ide Abadi, yaitu kumpulan ingatan terpendam dalam benak
manusia.
b. Rene
Descartes
Menurut Descartes, kita perlu tetap meragukan untuk
sementara waktu apa saja yang tidak bisa dilihat dengan teranng oleh akal budi
sebagai yang pasti benar dan tidak diragukan lagi, yang disebut sebagai
keraguan metodis.keraguan metodis berfungsi sebagai alat untuk menyingkirkan
semua prasangka, tebakan, dan dugaan yang menipu, dan karenanya menghalangi
kita untuk sampai pada pengetahuan yang benar-benar punya dasar yang kuat. Atas
dasar ini, Descartes beranggapan bahwa hanya akal budi yang dapat membuktikan
bahwa ada dasar bagi pengetahuan manusia, ada dasar untuk merasa pasti dan
yakin akan apa yang diketahui.
Pengalaman indrawi kita adalah salah satu unsur
utama yang menipu dan menghalangi kita untuk sampai pada pengetahuan sejati.
Contohnya, pancaindra menipu kita bahwa benda-benda di luar angkasa kecil saja.
Hanya kalau apa yang ditangkap oleh pancaindra telah dilihat melalui terang
akal budi sebagai pasti da tak bisa diragukan, apa yang ditangkap pancaindra itu
bisa diterima sebagai pengetahuan. Semakin jelas ide tersebut dalam terang akal
budi, semakin ide tersebut sesuai dengan realitas. Sebagaimana halnya dalam
ilmu ukur, untuk sampai pada pengetahuan yang pasti dan tak teragukan lagi kita
perlu mengandalkan akal budi.
Keraguan metodis bukanlah tujuan yang harus dicapai,
melainkan hanya merupakan sarana untuk bisa menemukan sesuatu yang bisa kita
ketahui secara pasti. Sehingga kita bisa sampai pada kebenaran tertentu yang
tidak bisa lagi diragukan, dan ini memberi landasan yang kokoh bagi pengetahuan
kita. Selain itu, juga supaya kita sampai pada pengetahuan yang bersifat umum
atau universal, yaitu pengetahuan yang tidak terbatas pada objek khusus
tertentu yang diberikan pancaindra dan karena itu bisa menipu.
Berpikir, akal budi, adalah unsur paling pokok dari
manusa, sekaligus juga bagi penegtahuan manusia. Akal budi adalah landasan
paling kokoh dan paling pokok dari pengetahuan manusia. Pengetahuan yang benar
kita dapatkan melalui seleksi dari akal budi.
c. Beberapa
hal penting
Kita dapat merumuskan beberapa hal penting mengenai
rasionalisme, yaitu, pertama, kaum rasionalis lebih mengandalkan geometri atau
ilmu ukur dan matematika, yang memiliki aksioma-aksioma umum lepas dari
pengamatan atau pengalaman pancaindra kita. Hanya akal budi yang bisa kita
andalkan untuk bisa sampai pada pengetahuan.
Kedua, konsekuensinya, kaum rasionalis meremehkan
peran pengalaman dan pengamatan pancaindra bagi pengetahuan. Bagi mereka
pancaindra bisa menipu kita.
Karena kaum rasionalis lebih mengandalkan ilmu ukur
dan matematika, mereka dengan sendirinya hanya menerima metode deduktif. Dengan
cara ini, yang terjadi dalam proses pengetahuan manusia adalah bahwa manusia
mendeduksikan, menurunkan, pengetahuan-pengetahuan particular dari
prinsip-prinsip umum atau pertama yang bersifat pasti dan universal yang
merupakan bawaan manusia dalam akal budinya jauh sebelum ia mengalami apapun
juga. Semua pengetahuan adalah pengetahuan apriori yang terutama mengandalkan
silogisme. Dikatakan apriori karen manusia sudah memiliki pengetahuan itu
sebelum dan mendahului pengalaman. Ada aide-ide bawaan yang telah ada dalam
benak manusia sejak lahir.
Jadi, bagi kaum rasionalis, kalau saya tahu bahwa p melalui penalaran, p pasti benar secara apriori tanpa perlu
dibuktikan secara fakta dari pengalaman. Contohnya, “lilin pasti mencair kalau
dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.” Proposisi ini pasti benar dengan
sendirinya secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan, karena prinsip
umum bahwa “Parafin selalu mencair pada suhu 60°C.” Karena unsure utama dari
lilin adalah paraffin, maka dapat disimpulkan bahwa lilin pasti mencair dalam
air yang sedang mendidih karena air mendidih pada suhu 100°C.
2.
Empirisisme
Empirisisme menganggapi
persoalan skeptisisme: Bagaimana kita bisa sampai pada pengetahuan yang pasti
benar?
Empirisisme adalah
paham filosofis yang mengatakan bahwa sumber satu-satunya bagi pengetahuan
manusia adalah pengalaman. Yang paling pokok untuk bisa sampai pada pengetahuan
yang benar adalah data dan fakta yang ditagkap oleh pancaindra kita. Bagi kaum
empirisis, semua pengetahuan manusia bersifat empiris.
Pancaindra memainkan
peranan terpenting dibandingkan dengan akal budi karena: Pertama, semua
proposisi yang kita ucapkanmerupakan hasil laporan dari pengalamanatau yang
disimpulkan dari pengalaman. Kedua, kita tidak bisa punya konsep atau ide apa
pun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari
pengalaman. Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi jika punya acuan ke realitas
atau pengalaman. Dengan demikian, akal budi hanya mengkombinasikan pengalaman
indrawi untuk sampai pada pengetahuan. Maka, tanpa pengalaman indrawi tidak ada
pengetahuan apa-apa.
a. John
Locke
Menurut John Locke dalam bukunya An Essay Concerning Human Understanding,
semua konsep atau ide yang mengungkapkan pengetahuan manusia sesungguhnya
berasal dari pengalaman manusia. Konsep atau ide-ide ini diperoleh dari
pancaindra atau dari refleksi atas apa yang diberikan oleh pancaindra. Sebelum
kita menangkap sesuatu dengan pancaindra kita, akal budi kita berada dalam
keadaan kosong, tanpa isi apapun. Akal budi hanya bisa mengetahui sesuatu karen
amendapat informasi yang diperoleh melalui pancaindra.
Ada dua macam ide, yaitu ide-ide sederhana dan
ide-ide kompleks. Ide-ide sederhana adalah ide yang kita tangkap melalui
penciuman, penglihatan, rabaan, dan semacamnya yang ditangkap secara langsung
dan spontan.akal budi kemudian mengolah lebih lanjut ide-ide itu, dengan
memikirkan, meragukan, mempertanyakan, menggolongkan, dan mengolah apa yang
diberikan pancaindra, dan seterusnya, sehingga lahirlah refleksi yang
memungkinkan adanya ide-ide yang lebih kompleks. Ide-ide sedrhana tidak bisa
keliru sedangkan ide-ide kompleks bisa saja keliru.
Locke menegaskan bahwa pengetahuan manusia bersumber
dari pengalaman, diperoleh dari sensasi langsung yang melahirkan ide-ide
sederhana atau melalui refleksi atas sensasi langsung itu yang melahirkan
ide-ide kompleks.
John Locke membedakan antara kualitas primer dari
objek dan kualitas sekunder dari objek. Kualitas primer dari objek mencakup
berat, gerak, luas, dan jumlah. Dalam menagkap kualitas-kualitas ini,
pancaindra kita merepdroduksi sifat atau kualitas objektif pada objek itu apa
adanya. Sedangkan kualitas sekunder
mencakup rasa, warna, paas-dingin, dan semacamnya. Dalam menangkap kualitas
sekunder ini, pancaindra kita hanya mereproduksi sifat atau kualitas luar saja
dari objek itu. Maka, kita hanya bisa sampai pada pengetahuan yang pasti, tak
bisa diragukan, dan bersifat universal dalam kaitan dengan kualitas primer dari
objek yang kita tangkap dengan pancaindra, bukan dengan kualitas sekunder,
karena kualitas sekunder sangat ditentukan oleh sudut pandang, pancaindra, dan
subjektivitas si subjek.
Ide muncul karena akal budi melalui pancaindra
menangkap suatui objek. Sedangkan kualitas muncul karena objek memproduksi
dalam diri kit aide tertentu. Jadi, supaya bisa terjadi pengetahuan, harus ada
kerja sama antara subjek dan objek.
b. David
Hume
Dalm bukunya An
Enquiry Concerning Human Understanding (1748), Hume menganut paham
empirisisme bahwa semua materi pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi
kita. Hanya saja, pemahaman manusia dipengaruhi oleh sejumlah kepastian dasar
tertentu—mengenai dunia eksternal, mengenai masa depan, mengenai sebab—dan
bahwa kepastian-kepastian ini merupakan bagian dari naluri alamiah manusia,
yang tidak dihasilkan mau bisa dicegah oleh akal budi atauproses pemikiran
manusia. Melalui naluri alamiah, manusia bisa mencapai kepastian-kepastian yang
memungkinkan pengetahua manusia.
Hume membedakan dua proses mental dalam diri
manusia. Pertama, adalah kesan (impresi), yang merupakan semua macam pencerapan
pancaindra yang lebih hidupdan bersifat langsung. Kedua, pemikira atau ide yang
kurang hidup dan kurang bersifat langsung. Dari impresi kemudian muncul ide-ide
sederhana dari objek yang kita tangkap dengan pancaindra secara langsung yang
selanjutnya akal budi manusia mampu melahirkan ide-ide majemuk yang tidak kita
tangkap melalui pancaindra.
Keterkaitan antara ide-ide tersebut ada pada huku
asosiasi dengan tiga unsure. Pertama, prinsip kemiripan; yang berarti ide
tentag suatu objek cenderung melahirkan dalam akal budi kita objek lainnya yang
serupa atau mirip sehingga kita mampu membuat klasifikasi atau pengelompokkan. Kedua,
prinsip kontinuitas dalam tempat dan waktu, yang kecenderungan akal budi untuk
mengingat hal lain yang punya kaitan dengan hal atau peristiwa lainnya. Ketiga,
prinsip sebab dan akibat.
Dengan ketiga prinsip ini walaupun akal budi manusia
tidak mengenal adanya ide-ide bawaan sejak lahir, namun akal budi sudah punya
kecenderungan sejak lahir untuk mengolah dan menyusun ide-ide yang timbul
melalui penyerapan pancaindra sehingga memungkinkan kita untuk berpikir atau menalar,
yaitu untuk mengumpulkan ide-ide menjadi pemikiran atau proporsi.
Objek akal budi manusia dibagi menjadi dua: relasi
ide-ide da kenyataan. Relasi ide-ide adalah ilmu ukur dan matematika. Sedangkan
kenyataan sulit dipastikan kebenarannya karen ahal yang sebaliknya sangat
mungkin terjadi. Kita tahu adanya fakta tertentu berdasarkan kesaksian indra
kita. Kita bisa tahu lebih dari fakta yang ada berdasarkan prinsip sebab-akibat
sehingga kita mampu membuat ramalan atau dugaan tertentu yang emlampaui fakta yang
ada.
Pengetahuan dicapai bukan melalui penalaran apriori,
emalinkan berdasarkan pengalaman ketika kita menemukan bahwa objek khusus
tertentu selalu berkaitan dengan objek lainnya. Menurut Hume pula, kita tidak
pernah tahu tentang hukum sebab akibat, melainkan kita mengalami hokum sebab
akibat, yaitu bahwa suatu peristiwa selalu disusul oleh peristiwa yang lain.
Contohnya, jika batu dilemparkan ke atas, hampir pasti akan jatuh ke tanah.
Hokum sebab-akibat adalah peristiwa factual, suatu pengetahuan factual, bukan
pengetahuan apriori.
c. Beberapa
hal penting
Ada beberapa hal penting menyagkut pandangan
empirisisme. Pertama, kaum empirisis mengakui bahwa persepsi atau proses
pengindraan sampai tingkat tertentu tidak dapat diragukan. Yang bisa keliru
adalah daya nalar manusia dalam menangkap dan memutuskan apa yang ditangkap
oleh pancaindra itu.
Kedua, dari empirisisme Hume terlihat jelas bahwa
empirisisme hanyalah sebuah tesis tentang pengetahuan empiris, yaitu
pengetahuan tentang dunia yang berkaitan dengan pengalaman manusia, tidak
bermaksud menyangkut pengetahuan apriori. Empirisis mengakui bahwa ada
pengetahuan tertentu yang tidak diperoleh melalui pengalaman indrawi.
Ketiga, karena lebih menekankan pengalaman sebagai
sumber pengetahuan manusia, kaum empirisis lebih menekankan metode pengetahuan
induktif, yaitu cara kerja ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri pada
pengamatan, eksperimen untuk bisa sampai pada pengetahuan yang umum tak
terbantahkan. Sikap ini memacu percobaan yang didasarkan pada observasi dan
penelitian empiris.
Walaupun sama-sama menganggap serius metode keraguan
yang dilontarkan kaum skeptic, kaum rasonalis berakhir dengan menegaskan
kebenaran mutlak pengetahuan manusia yang diperoleh akal budi manusia.
Sedangkan kaum empiris menegaskan sikap skeptic itu dengan menganggap kebenaran
penegatahuan manusia, khususnya pengetahuan empiris sebagai bersifat sementara.
Yang keempat, kepastian mengenai pengetahuan empiris
harus dicek berdasrkan pengamatan, data, pengalaman, dan bukan berdasarkan akal
budi.
3.
Sebuah
Sintesis
a. Beberapa
unsure sintesis
Kedua pemikiran di atas sama-sama memiliki
kebeanaran dan kesalahan. Rasonalis benar ketika mengatakan bahwa pengetahuan
manusia bersumber dari akal budi manusia. Dan kaum empirisis juga benar bahwa pengetahuan
manusia bersumber dari pengalaman manusia. Keduanya keliru, karen aterlalu
ekstrem menganggap pengetahua hanya bersumber dari salah satu saja, antara akal
budi atau pengalaman indrawi manusia.
Sintesis antara kedua paham ini, sesungguhnya kita temukan
pada pendapat Aristoteles yang menolak pandangan Plato bahwa pengetahuan
hanyalah ingatan akan Ide-ide Abadi. Bagi Aristoteles, pengetahuan manusia
tercapai sebagai hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang banyak,
lalu menarik unsure-unsur universal dari yang particular. Jadi, pengetahuan
diperoleh dengan ajalan abstraksi yang dilakukan atas bantuan akal budi
terhadap kenyataan yang bisa diamati.
Manusia tidak hanya “tahu akna” atau “tahu bahwa”
sesutau terjadi sebagaimana dilaporkan oleh panaindranya, melainkan juga “tahu
mengapa” sesuatu terjadi sebagaimana adanya. Dengan kemampuan akal budinya,
mampu mengadakan refleksi dan abstraksi tentang peristiwa atau kenyataan yang
diungkap oleh pancaindra sehingga sampai pada pengetahuan yang universal. Maka,
pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindra dan akal budi, adalah pengetahuan
yang lebih umum dan sekaligus lebih pasti.
b. Immanuel
Kant
Sukses Kant yang terbesar adalah bahwa ia
mendamaikan antara empirisisme dan rasionalisme. Menurut pendapat Kant, baik
pancaindra dan proses pengindraan maupun akal budi dan proses penalaran
sama-sam ikut berpera bagi lahirnya pengetahuan manusia. Keduanya sama-sama
berperan bagi konsepsi kita mengenai dunia di sekitar kita. Kekeliruan
rasionalisme dan empirisisme dalah bahwa keduanya terlalu ekstrem beranggapan,
khususnya kaum rasionalis. Menurut Kant, mengalami dunia dan berpikir tentang
dunia sesungguhnya berkaitan satu sama lain. Ketika saya melihat dunaia, saya
sekaligus juga berpikir tentang dunia yang sama.
Meskipun pengetahuan berasal dari pengalaman
pancaindra, dalam diri manusia sesungguhnya sudah ada kategori-kategori,
bentuk, atau forma sebagaimana dikatakan Plato, yang memungkinkan kita
menangkap benda-benda itu sebagaimana adanya. Kategori-kategori itu, pertama,
menyangkut ruang da waktu. Yaitu bahwa benda-benda di alam semesta ini selalu
ditangkap sebagai fenomena dalam ruang dan waktu tertentu dan tidak pernah
berada di luar ruang dan waktu.
Kedua, dalam benak kita sudah ada kategori hokum
sebab dan akibat. Berbeda dengan Hume, Kant berpendapat bahwa hokum sebab
akibat adalah suatu bentuk yang sudah ada dalam benak manusia sejak lahir, yang
bersifat abadi dan mutlak karen aakal budi manusia menangkap segala sesuatu
yang terjadi di dunia ini sebagi terjadi dalam hubungan sebab dan akibat.
Ada dua unsure yang ikut melahirkan pengetahuan
manusia. Pertama adalah kondisi ekternal manusia yang menyangkut benda-benda
yang tidak bisa kita ketahui sebelum kita menangkapnya dnegan pancaindra kita,
yang disebut sebagai objek material dari pengetahuan. Berarti, benda
sebagaimana ditangkap pancaindra dan hanya diketahui melalui pancaindra. Kedua
adalah kondisi internal yang ada dalam diri manusia itu sendiri, menyangkut kategori
ruang dan waktu serta hokum sebab-akibat, yang disebut sebagai objek formal
pengetahuan. Yang berarti bahwa objek sebagaimana ditangkap secara apriori
dengan akal budi manusia sebagai terjadi dalam ruang dan waktu dan dalam kaitan
sebab-akibat tertentu.
Ada dua cara yang saling terkait dan menunjang satu
sama lain untuk bisa sampai pada suatu pengetahuan. Pertama, secara empiris,
yaitu dengan mengacu pada pengalama dan pengamatanindrawi, pada bagaimana benda
atau objek tertentu tampak pada kita melalui pancaindra. Untuk mengetahui bahwa
p benar, kita tidak mengacu pada akal
budi, melainkan pada bagaimana objek yang dinyatakan dalam proposisi itu tampak
pada kita.
Kedua, suatu objek hanya bisa ditangkap oleh
pancaindra kalau kita sudah mempunyai kategori-kategori tertentu. Ada
pengetahuan transcendental yang member kerangka yang memungkinkan objek dapat
dialami. Kita tidak pernah punya pengetahuan tertentu tentang benda pada
dirinya sendiri melainkan hanya mengetahui benda yang tampak (melalui
pancaindra) pada kita, yang selalu berlangsung dalam kategori-kategori ruang
dan waktu serta hokum sebab-akibat. Ini disebut sebagai Revolusi Kopernikus.
Dengan kedua cara ini, di satu pihak dalam fungsi empirisnya akal budi menarik
hokum-hukum tertentu dari fenomena alam, di pihak lain dalam fungsi transendentalnya
akal budi menjelaskan fenomena tertenntu dari alam sebagai fenomena hokum alam.
Kesimpulannya, pertama, manusa sesungguhnya sudah
punya bakat untuk mengetahui sesuatu.
Kedua, berkaitan dengan itu, Kant mendamaikan metode induksi yang diandalkan
kaum empirisis dengan metode deduktif dari kaum rasionalis. Di satu pihak kita
memang mengandalkan fakta dan data untuk bisa sampai pada pengetahuan yang
benar. Tetapi di pihak lain untuk menangkap fakta dan data itu kita perlu sudah
mempunyai konsep atau pemahaman tertentu. Jika tidak, fakta dan data itu tidak
akan punya makna bagi pengetahuan tertentu. Namun tidak benar bahw manusia lair
dengan membawa pengetahuan apriori dalam benaknya. Manusia hanya tahu tentang
benda tertentu dalam ala mini sebagai bernama ini dan itu, berkat pengalaman
dan pengajaran dari orang lain. Jadi, bagaimanapun pengalaman ikut memainkan
peranan penting bagi pengertian dan pengetahuan tentang sesuatu tanpa
menyangkal pentingnya akal budi dalam mengolah pengalama itu agar menjadi
pengetahuan.
4.
Pengetahuan
Apriori dan Pengetahuan Aposteriori
Istilah apriori secara
harfiah berarti “dari yang lebih dulu atau sebelum”, sedangkan istilah
aposteriori berarti ‘dari apa yang sesudahnya”. Menurut Aristoteles, A lebih
dulu dari B jika dan hanya jika B tidak bisa ada tanpa A.
Meurut Leibniz,
mengetahui realitas secara aposteriori berarti mengetahuinya berdasrkan apa
yang ditemukan secara actual di dunia ini, yaitu melalui pancaindra, dari pengaruh
yang ditimbulkan realitas itu dalam pengalaman kita. Disebut sebagai “kebenaran
aposteriori, atau kebenaran yang berasal dari fakta.” Sedangkan mengetahui
realitas secara apriori adalah mengetahuinya dengan mengenakan sebab pada
realitas itu, dengan memahami apa yang menjadi sebabnya, apa yang menimbulkan
dan memungkinkan hal itu terjadi. Disebut sebagai “ kebenaran apriori,
kebenaran yang berasal dari akal budi.” Kebenaran apriori dapat dibuktikan
dengan melihat keterkaitannya dengan proposisi yang sama, sedangka kebenaran
aposteriori hanya bisa dilihat sebagai benar berdasarkan pengalaman.
Kant membedakannya
sebagai pembedaan antara apa yang berasal dari pengalaman dan apa yang tidak
ebrasal dari pengalaman, atau apakah suatu konsep dapat dibuktikan kebenarannya
dengan memberikan alasan atau sebabnya atau tidak, yang selanjutnya berkembang
menjadi pembedaan antara pengetahuan empiris dan pengetahuan yang bukan
empiris. Selanjutnya berkembang pula menjadi pembedaan antara proposisi.
Proposisi aposteriori adalah proposisi yang kebenarannya hanya bisa diketahui
dengan merujuk pada pengalama tertentu. Sedangkan proposisi apriori adalah
proposisi yang kebenrannya bisa diketahui lepas dari pengalaman, yang dapat
dibuktikan hanya dengan mengadalkan akal budi tanpa harus merujuk pada
pengalaman apapun. Proposisi ini menyuguhkan kebenaran yang berasal dari
proposisi itu sendiri.
Ada anggapan bahwa pembedaan antara aposteriori
dan apriori ini juga berlaku bagi pembedaan yang diberikan oleh Kant antara
putusan sintesis dan putusan analitis. Putusan sintesis adalah putusan di mana
predikatnya menambahkan sesuatu yang baru pada subjeknya. Sedangkan putusan
analitis adala putusan di mana
predikatnya tidak menambah apa-apa pada subjeknya. Ternyata anggapan ini tidak sepenuhnya
benar. Karen apendapat ini seolah mengatakan bahwa semua proposisi analitis
adalah proposisi yang apriori, dan semua proposisi sintesis adalah proposisi
aposteriori. Adahal menurut Kant, ada juga proposisi atau pengetahuan apriori
yang mengandug kebenaran sintesis. Jadi, ada pengetahuan sintesis apriori.
Misalnya, “Setiap peristiwa ada sebabnya.”. ini proposisi apriori karena
kebenarannya diketahui secara apriori lepas dari pengalaman apapun. Akan tetapi
proposisi ini bukan analitis karena predikatnya menjelaskan sesuatu yang baru
sama sekali pada subjeknya.sumber :
Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar