Rabu, 19 November 2014

Review Bab 7 Buku "Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis"



BAB VII
METODE INDUKSI

Induksi adalah cara kerja ilmu pengetahuan yang bertolak dari sejumlah proposisi tunggal atau particular tertentu untuk menarik kesimpulan umum tertentu. Cara kerja ini dimulai dengan penelitian untuk mengamati berbagai fenomena dan mengumpulkan berbagai macam fakta dan data yang kemudian dievaluasi untuk menghasilkan kesimpulan umum tertentu yang merupakan generalisasi dari fakta dan data atau proposisi tunggal yang ada yang memperlihatkan kesamaan, keterkaitan, regulitas di antara fakta yang ada tadi.
Ciri dasar induksi adalah bahwa induksi selalu tidak lengkap. Karena tidak dapat mencakup semua data yang relevan dengan jumlahnya yang tak terbatas. Karena itu hasil dari induksi tidak bersifat mutlak.
1.     Induksi Gaya Bacon
Francis Bacon (1561-1626) adalah orang yang paling berjasa dalam mengembangkan metode induksi. Bacon mengkritik kaum rasionalis yang lebih mengandalkan akal budi dalam menemukan kebenaran dan mengesampingkan peran pengamatan indrawi. Bacon juga mengkritik teologi, yang lebih bertolak dari proposisi yang tidak bisa diragukan lagi kebenrannya.
Inti dari induksi gaya Bacon adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bermula dari dan dikendalikan oleh pengamatan yang tidak terpengaruh oleh pengandaian apapun juga. Ilmuwan tulen adalah pengamat sejati yang menangkap objek sebagaimana adanya.
Tiga hal pokok dari induksi gaya Bacon yaitu, pertama, ketika mengadaka penelitian ilmiah, ilmuwan harus bebas dari segala pengandaian. Yang artinya, kita tidak boleh memiliki spekulasi apapun terhadap objek yang kita amati dengan tujuan untuk mencegah bias ilmiah. Maka dengan ini kita akan sapai pada kebenaran objektif, yaitu kebenaran yang didukung oleh fakta dan data sebagaimana adanya.
Kedua, sebisa mungkin memperhatikan fakta dan data yang bertentangan satu sama lain. Ketiga, setelah proses pengamatan dan pengumpulan data, selanjutnya fakta dan data tersebut dievaluasi, diklasifikasikan, dirumuskan, dan disimpulkan sesuai dengan kemampuan ilmuwan tersebut.
Ada dua manfaat dari induksi gaya Bacon. Pertama, dengan metode ini ilmuwan benar-benar melihat kenyataan secara objektif, dan bukan kenyataan sebagaimana dilihat dari kacamata ilmuwan. Kedua, kegiatan ilmiah tidak jatuh menjadi ideologi. Kegiatan ilmiah berupaya membongkar segala rumusan baku untuk bisa sampai pada kebenaran sejati, bukan membenarkan idea tau konsep yang sudah ada.

2.     Keberatan dan Kelemahan Induksi Gaya Bacon
Ada dua keberatan atas induksi Gaya Bacon dan cara kerja induksi pada umumnya. Pertama, betapapun menariknya metode yang diajukan Bacon, dalam kenyataannya kita tidak pernah mendekati, meneliti, dan membaca alam dengan mata telanjang kosong sama sekali. Mengapa? Karena ketika kita mengamati objek tertentu, sesungguhnya kita telah memiliki asumsi tertentu atas objek itu. Dan dengan asumsi/konsep teoretis tertentu kita dapat menarik kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Jadi, asumsi teoretis tetap penting, tetapi kita harus tetap terbuka pada penemuan baru.
Kedua, fakta, data, dan fenomena tidak pernah menampilkan dirinya kepada kita sebagaimana adanya begitu saja, melainkan harus ditafsirkan. Spekulasi dan imajinasi aktif dari ilmuwan diperlukan disini.
Dengan demikian, sikap dasar empirisisme dikatakan berlebihan. Karena tidak cukup hanya mengandalkan pengalaman indrawi saja dalam menangkap objek atau fakta tertentu, yang juga penting adalah akal budi, dengan imajinasi dan spekulasinya mampu menangkap fakta dan data tersebut sebagai sesuatu yang bermakna.
Kelemahan dari induksi adalah bahwa induksi selalu tidak pernah lengkap. Pertama, tidak lengkap dalam pengertian bahwa kita tidak pernah sampai mencakup semua fakta dan data yang relevan dan yang seharusnya tercakup. Kedua, tidak lengkap dalam pengertian bahwa kebenaran kesimpulan tidak pernah mutlak.




3.     Langkah-Langkah Metode Induksi
a.      langkah-langkah metode induksi murni
1)      Identifikasi masalah
2)      Pengamatan dan pengumpulan data
3)      Merumuskan hipotesis
4)      Tahap pengujian hipotesis
b.      langkah metode induksi yang telah dimodifikasi
1)      Situasi masalah
2)      Pengajuan hipotesis
3)      Penelitian lapangan
4)      Pengujian hipotesis

4.     Situasi Masalah
Situasi masalah adalah situasi di mana pengetahuan yang ada tidak mampu member penjelasan tentang kenyataan yang dihadapi. Hal yang sangat menentukan keberhasilan penelitian adalah ketepatan dan kejelasan perumusan masalah, untuk itu perumusan masalah harus dilakukan secara tepat.
Selain perumusan masalah, tujuan penelitian sualtu masalah ditentukan oleh tujuan penelitian. Ada macam-macam tujuan penelitian, (1) untuk kepentingan ilmiah murni; (2) sekadar untuk memuaskan rasa ingin tahu akan hal-hal pelik tertentu tanpa maksud untuk melahirkan teori tertentu; (3) untuk menyumbangkan pemikiran bagi kebutuhan sosial akan teori tertentu dalam menjawab permasalahan sosial tertentu, atau yang berkaitan dengan kehidupan manusia; (4) untuk memperleh teori atau masukan ilmiah yang data digunakan untuk kepentingan tertentu, misalnya bagi kebijakan pemerintah, bisnis, atau kepentingan kelompok sosial tertentu.
a.      Beberapa ciri masalah yang baik
Pertama, masalah harus mempunyai nilai untuk diteliti. Maksudnya, a) masalah tersebut mempunyai arti penting untuk diteliti baik bagi kepentingan ilmiah maupun bagi kehidupan manusia. b) Masalah terebut harus bisa diteliti atau dikaji dengan berbagai perangkat penelitian yang ada. c) Masalah tersebut perlu dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang menarik dan menantang untuk diteliti.
Kedua, masalah yang diteliti harus feasible, dalam pengertian mempunyai kemungkinan untuk dipecahkan atau layak untuk diteliti. Ketiga, masalah tersebut harus sesuai dengan kualifikasi peneliti.
b.      Sumber-sumber masalah
Sumber masalah dapat berasal dari pengamatan atas berbagai gejala sosial dan alam di sekitar kita. Masalah juga bisa muncul dari bacaan ilmiah yang kita geluti, atau kombinasi antara bacaan dan pengamatan atas berbagai fenomena di sekitr kita.

5.     Perumusan dan Pengujian Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan yang berisikan dugaan sementara mengenai sebab dari sutu masalah tertentu (fakta, peristiwa) yang dianggap benar untuk dibuktikan kebenarannya lebih lanjut. Dala metode induksi  murni, setelah suatu masalah dirumuskan, langkah berikutnya adalah merumuskan hipotesis.
Hipotesis memiliki beberapa kegunaan. Pertama, untuk member batasan serta kerangka penelitian. Kedua, untuk mengarahkan perhatian peneliti pada gejala, fakta, dan data, dan hubungan di antara berbagai gejala, fakta, dan data yang ada, yang bermanfaat bagi penelitian. Ketiga, hipotesis berfungsi sebagai  tool of analysis, yang berarti bahwa hipotesis adalah alat sederhana untuk mengaitkan fakta dan data yang tercerai-berai tanpa koordinasi ke dalam satu kesatuan yang menyeluruh, yang memperlihatka keterkaitan di antara fakta. Dan data tersebut.
Yang perlu diperhatikan dalam perumusan hipotesis adalah hipotesis yang singkat, padat, jelas, dan berjangkauan luas. Selain itu, hipotesis juga secara empiris harus dapat diuji kebenarannya.
Setelah hipotesis dirumuskan, langkah selanjutnya adalah pengujian hipotesis. Dalam induksi murni, setelah hipotesis dirumuskan, selanjutnya kita membuat prediksi atau ramalan tentang berbagai fakta dan data yang akan ditemukan baik secara hipotesis maupun secara factual. Prediksi berarti menurunkan berbagai fakta secara logis sebagai konsekuensi logis dari hipotesis yang benar tadi.  Dengan demikian, terlihat jelas bahwa dalam kenyataannya metode induksi pun menggunakan cara kerja deduktif, yaitu pada langkah pengujian dan prediksi.
 Ketika implikasi logis itu didukung dan sesuai dengan kenyataan empiris, terlihat jelas bahwa kebenaran logis dan kebenaran empiris saling mendukung, dan dengan demikian hipotesis kita semakin kuat sebagai sebuah kebenaran ilmiah yang bersifat logis dan empiris sekaligus.



sumber :
Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius

Review Bab 6 Buku "Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis"



BAB VI
METODE ABDUKSI DAN DEDUKSI
1.    Pengantar
J. B. Conant mengatakan dalam bukunya Understanding Science, bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai kata benda maupun kata kerja. Sebagai kata benda, ilmu pengetahuan merupakan hasil yang sudah jadi. Sedangkan sebagai kata kerja, ilmu pengetahuan adalah proses yang melibatkan ilmuwan dalam mencapai kebenaran, yaitu metode dan kegiatan yang dipraktekkan.
Tiga unsur dari kegiatan ilmiah yaitu; perumusan masalah, metode ilmiah yang pragmatis sebagai proses, dan jawaban sebagai hasil. Metode ilmu pengetahuan berangkat dari suatu keraguan atau permasalahan yang kemudian akan dicari solusi atau jawabannya melalui suatu metode ilmiah yang pragmatis.

2.    Metode Ilmu Pengatahuan dan Metode Berpikir Lainnya
Dlihat dari cara untuk mencapai kebenaran, ada perbedaan antara metode ilmiah dengan metode-metode lainnya, seperti method of tenacity, method of authority, a priori method. Dengan metode ilmiah, orang dapat mengajukan pertanyaan, mencari sendiri jawaban, dan menjelaskan jawabannya dengan mengacu pada pengalaman tentang alam. Sedangkan metode lainnya tidak demikian. Dengan method of tenacity, seseorang tidak akan mengajukan pertanyaan apapun, sedangkan dengan method of authority seseorang hanya mencari jawabannya berdasarkan otoritas, dan dengan a priori method seseorang dapat menjawab sendiri pertanyaannya berdasarkan seler pribadi tertentu. Maka, hanya metode ilmiah yang mengajak seseorang untuk mengajukan sendiri pertanyaan dan mencari sendiri jawabannya berdasarkan pengalamannya tentang alam.

3.    Metode Abduksi
C. S. Peirce menyebut abduksi sebaga semua proses yang terjadi dalam pemikiran ilmuwan.
a.      Pemikiran Pierce tentang abduksi
Awalnya Pierce memandang abduksi sebagai suatu bentuk penyimpulan yang terdiri dari tiga proposisi, yaitu hokum (rule), kasus (case), dan kesimpulan (result) yang dibentuk dalam suatu silogisme hipotesisi yang terdiri dari premis mayor, minor, dan kesimpulan.
Jika A, maka B
Dan A:
Maka B
Namun setelah tahun 1893, Pierce semakin sadar bahwa abduksi lebih dari sekadar suatu bentuk logis. Abduksi merupakan tahap pertama dari penelitian ilmiah.
Dua cirri abduksi menurut Pierce yaitu, pertama, abduksi menawarkan suatu hipoesis yang memberikan eksplanasi yang probable, yang berarti hipotesis tersebut bersifat kemungkinan atau dugaan. Kedua, hipotesis itu dapat memberikan penjelasan terhadap fakta-fakta lain yang belum dijelaskan dan bahkan tidak dapat diobservasi secara langsusng.
Imajinasi yang brilian dan bebas menjadi bagaian penting dalam abduksi. Tetapi abduksi tidak menjalankan fungsi kritis. Abduksi hanya menghasilkan hipotesis sebagai pejelasan sementara, dengan memberikan suatu konjektur atau dugaan yang masuk akal sebagai salah satu cara untuk memahami fakta. Maka, hipotesis yang ditawarkan melalui abduksi merupkan suatu vague ideas yang masih harus dibuktikan melalui induksi dan dedukasi.

b.      Beberapa syarat dalam pemilihan hipotesis
Syarat yang paling penting dalam pemilihan hipotesis adalah bahwa hipotesis yang dipilih dapat diverivikasikan secara eksperimental. Namun pertimbangan ekonomi juga perlu diperhitungkan mengingat batas-batas financial dan waktu seorang ilmuwan. Secara negative dapat dikatakan bahwa lebih menguntungkan memilih hipotesis yang paling cepat dan mudah ditolak dibandingkan dengan sebuah hipotesis yang memakan banyak waktu dan tenaga untuk diverivikasikan tetapi belum jelas.
Syarat lain menurut Peirce yaitu dampak positif dari hipotesis bagi ilmu dan nilai hipotesis itu sendiri. Semakin baik suatu hipotesis, semakin luas dan mendalam hipotesis tersebut. sedangkan mengenai nilai suatu hipotesis, hipotesis yang baik adalah hipotesis yang bisa diuji, dan sekaligus juga yangs angat membantu bagi perkembangan ilmu itu sendiri.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam memilih suatu hipotesis adalah insting, yang merupakan instrument yang lebih meyakinkan dibandingkan dengan semua bentuk penalaran (reason). 
c.       Kesimpulan: nilai teoretis fase abduksi
Pertama, abduksi menghasilkan suatu proposisi yang mengandung konsep universal (generalitas). Abduksi merupakan suatu proses penyimpulan dari sutau kasus tertentu yang menempatkan suatu kasus tertentu dalam suatu kelas atau kelompok.
Kedua, hipotesis abduktif dibentuk oleh imajinasi, bukan oleh penalaran kritis. Seorang ilmuwan akan menggunakan instingnya untuk membuat suatu pilihan yang ekonomis dan berguna ketika menghadapi begitu banyak penjelasan yang harus diuji.
Ketiga, proses abduksi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan selalu berusaha untuk menangkap orisinalitas realitas. Dan keempat adalah interpretative. Dalam arti bahwa proposisi hipotesis yang berhasil dirumuskan dari cara pandang ilmuwan terhadap fakta atau pengalaman.

4.    Metode Deduksi
Deduksi adalah proses menarik prediksi-prediksi dari suatu hippotesis. Setelah memilih hipotesis, maka selanjutnya menyimpilkan prediksi-prediksi ekperiensial dari hipotesis tersbut, mencatat dan menyeleksi prediksi kemudian mengamati apakah prediksi itu terjadi atau tidak.
Proses deduktif dalam penelitian ilmiah harus berhenti dengan prediksi dalam bentuk jika-maka. Ini berarti hasil dari pengujian tidak diketahui atau belum diketahui. Jad, fase deduktif ini berakhir dengan perumusan prediksi yang ditarik secara logisdari hipotesis eksplanatoris.

sumber :
Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius

Review Bab 5 Buku "Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis"



BAB V
MASALAH KEPASTIAN DAN FALIBILISME MODERAT

1.     Masalah Kepastian Kebenaran Ilmiah
Falibilisme adalah suatu pengakuan dalam filsafat ilmu pengetahuan bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah memberikan suatu formulasi final dan absolut tentang seluruh universum. Falibilisme adalah sebuah sikap kritis yang meragukan kebenaran ilmiah (ilmu pengetahuan selalu bisa salah) namun sekaligus juga menganggap dan mengakui kebenaran ilmu pengetahuan serta metode ilmu pengetahuan adalah satu-satunya metode yang dapat dipercaya dalam menyampaikan pikiran.
Falibilisme lebih condong kepada anggapan kaum empirisis bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat memberikan gambaran yang pasti tentang objek penelitiannya. Berbeda dengan kaum rasionalis yang beranggapan bahwa kebenaran sebagai keteguha bersifat pasti benar

2.     Filibilisme dan Metode Ilmu Pengetahuan
Falibilisme ilmu pengetahuan berasal dari dua sumber, yaitu sebagai konsekuensi dari metode ilmu pengetahuan, dann dari objek ilmu pengetahuan yaitu universum alam.
Beberapa indikasi metodologis dapat dilihat sebagai alasan dari falibilisme moderat, yaitu (1) Peneliti tidak pernah merasa pasti dengan apa yang dicapainya sendiri; (2) Fokus utama dari kegiatan penelitian ilmiah adalah verivikasi atas hipotesis, yang mana selalu terbuka kemungkinan terjadi kekeliruan; (3) Karena metode induksi yag digunakan pada metode ilmu penegtahuan selalu tidak lengkap; dan (4) Setiap hipotesis pada dasarnya tidak pasti.
Maka, dengan keempat alasan ini dapat dikatakan bahwa pengetahuan ilmiah itu tidak pernah luput dari kekeliruan dan selalu terbuka pada kritik dan perbaikan.

3.     Falibilisme dan Objek Ilmu Pengetahuan
Falibilitas pengetahuan ilmiah, selain disebabkan oleh metode ilmiah, juga terjadi karena objek ilmu pengetahuan yang real sekaligus juga berubah-ubah. Objek ilmu pengetahuan adalah peristiwa-peristiwa alam. Namun alam sendiri tidak berada dalam kondisi statis, melainkan selalu mengalami evolusi. Oleh karena itu, falibilisme atau kesadaran bahwa ilmu pengetahuan selalu tidak pernah mutlak benar juga didasarkan pada kenyataan bahwa alam selalu berkembang.
a.      Realitas objek
Objek pengetahuan dapat dikatakan real jika jika mengandung tiga arti berikut. Pertama, yang nyata berarti lepas dari pikiran manusia. Yang berarti bahwa realitas adalah sesuatu yang berada di luar diri sendiri. Kedua, meskipun dunia real yang dipelajari ilmu pengetahuan bebas dari pemikira manusia, namun realitas itu sendiri dapat dikatakan real jka memang dapat dikenal. Maka, dunia yang real adalah dunia yang sekalipun berada lepas dari pikiran manusia, namun sungguh-sungguh dapat dikenal oleh pemikiran manusia. jika tidak, maka tidak aka nada ilmu pengetahuan.
Ketiga, realitas yang dibicarakan ilmu pengetahuan adalah realitas public yang menjadi perhatian banyak orang. Yaitu bukan hanya apa yang dapat dipikirkan oleh individu, melainkan juga yang memiliki dimensi sosial sebagai objek dari penelitian bersama. Jika kebenaran pengetahuan ilmiah tidak dapat dilihat sebagai kenyataan public, yang diterima dan disaksikan public, maka pengetahuan akan menjadi pendapat pribadi yang tidak dapat dipercaya.
Dalam hal ini, komunikasi dan bahasa memainkan peranan penting, karena (1) dengan komunikasi para ilmuwan bisa saling membagi informasi dan penemuan mereka; (2) dengan komunikasi mereka bisa saling berdiskusi, saling mengafirmasi dan saling membantah; (3) dengan komunikas ilmu pengetahuan, baik metode maupun hasilnya, dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dengan demikian, jika ilmu pengetahuan hanya menjadi milik pribadi tanpa bisa dikomunikasikan, maka belum bisa diterima sebagai ilmu pengetahuan dalam arti yang sesungguhnya.
b.      Evolusi objek pengetahuan ilmiah
Pengertian tentang evolusi objek menyangkut dua aspek. Pertama, objek pengetahuan ilmiah selalu berubah sehingga pengetahuan yang yang kita capai, sekalipun sangat akurat, harus ditinjau kembali. Filsuf-filsuf Yunani seperti Herakleitos dan Aristoteles mnejelaskan bahwa perubahan merupakan cirri khas dari realitas apa saja. Sehingga evolusi merupakan kenyataan dasar dari setiap realitas. Karena perubahan inilah maka setiap pengetahuan bisa saja kabur karena alam selalu berubah dan berkembang.
Kedua, objek pengetahuan kita selalu berkembang kepada regularitas. Yang berarti bahwa semakin alam berkembang ia semakin terbuka untuk dimengerti. Jadi, tetap ada harapan akan tercapainya suatu pemahaman yang lebih baik tentang alam semesta, asalkan penelitian terus dilakukan dari generasi ke generasi.
Dengan adanya dua aspek ini, maka ilmuwan harus berusaha mendekati alam dengan kesadaran akan falibilitas atas hasil-hasilnya. Namun falibilisme ini bersifat moderat karena alam selalu berkembang untuk semakin lama semakin bisa dimengerti.
Dengan demikian, berkaitan dengan kebenaran empiris, harus dikatakan bahwa semua ilmu empiris  karena mengejar kepastian dalam dua arti, yaitu (1) kepastian tentang pernyataan yang menjelaskan gejala-gejala yang diselidiki; (2) kepastian tentang kesimpulan yang ditarik sebagai sutau hukum yang berlaku umum.

KESIMPULAN:
Falibilisme adalah suatu sikap kritis terhadap kebenaran ilmu pengetahuan, namun sekaligus juga menganggap bahwa metode ilmu pengetahuan adalah yang paling dapat dipercaya sebagai sebuah metode yang dapat menjelaskan suatu pengetahuan secara benar. Alasan adanya falibilisme ini yaitu disebabkan oleh metode ilmiah yang bersifat tidak pasti dan dikarenakan objek ilmu pengetahuan yang real ini selalau berubah-ubah. Namun, sekalipun kita harus mempunyai kesadaSran akan falibilisme ini, kita harus tetap optimis dan memandang kesalahan ilmu pengetahuan dengan cara yang lebih moderat. Yakni, sebagai sebuah tantangan untuk terus mencari kebenaran yang baru. Dengan demikian akan tercipta sutu falibilisme moderat yang akan semakin membawa kita kepada kebenaran.

sumber :
Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius